Tidak ada seorangpun yang bisa dikatakan
menjadi seorang atau sebab khusus terjadinya human trafficking. Hal ini terjadi
karena begitu banyak kaitannya dengan nilai – nilai lain yang sangat erat
kaitannya dengan pribadi itu sendiri. Human Trafficking telah menjadi perhatian
serius oleh banyak negara bahkan sampai ke meja PBB.
Di dalam human trafficking ini permasalahannya
tidak telepas dari anak dan tidak terlepas pula dari perhatian masyarakat
internasional. Isu – isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan
pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi.
Eksploitasi tersebut paling tidak seperti beberapa contoh di bawah ini :
1. Eksploitasi seksual
2.
Pelayanan paksa
3.
Perbudakan
4.
Pengambilan organ – organ tubuh.
Dengan lahirnya salah satu instrumen untuk melindungi masyarakat dari
bahaya tindak pidana perdagangan orang maka pemerintah menciptakan UU No. 21
Tahun 2007. Namun, tampaknya undang – undang ini sulit dijalankan karena tindak
pidana perdagangan orang ini bersifat khusus dan melibatkan aspek kompleks yang
melintasi batas – batas negara. Pelaku human trafficking sendiri biasanya
adalah organisasi yang rapi dan tertutup. Maka tentulah diperlukan kepandaian,
kecerdikan dan keprofesionalismean para penegak hukum negara ini untuk memahami
bagaimana hukumnya berjalan dan melakukan penegakan hukum yang sangat konsisten
dan berkelanjutan nantinya.
Human
trafficking dari awal – awal bisa terjadi, sebenarnya ini dapat dicegah namun
memerlukan proses yang lama karena adanya proses dini yang tidak baik. Seperti
contoh, kehidupan yang miskin telah mendorong orang tua untuk tidak
menyekolahkan anaknya. Sehingga apa yang terjadi adalah anak – anaknya tidak
mendapatkan pendidikan dan keterampilan khusus atau kejuruan serta kesempatan
untuk kerja menyusut drastis. Dengan alasan kemiskinan pula ibu – ibu banyak
yang menjadi tenaga kerja wanita yang dengan hal ini dapat menyebabkan anak –
anaknya terlantar tanpa perlindungan sehingga sangat beresiko untuk menjadi
korban perdagangan manusia.
Namun
apa yang didapat dari akibat kemiskinan tersebut, imbasnya sangat banyak.
Karena nafsu ingin cepat kaya, ditambah lagi kurangnya pengetahuan maka mereka
akan terlilit hutang para penyalur tenaga kerja dan akhirnya mendorong mereka
untuk masuk kedalam dunia prostitusi. Sehingga mereka akan terjebak disana,
bahkan hal yang mereka kerjakan itu sudah menjadi kewajiban bagi mereka dengan
embel – embel untuk melunasi hutang mereka kepada para penyalur tenaga kerja.
Disamping
hal itu media massa khususnya televisi tampaknya juga tidak mau bekerja sama
untuk mencegah terjadinya human
trafficking ini tetapi malah mereka menayangkan hal – hal yang berbau
pornografi yang mendorong menguatnya keinginan seseorang untuk melakukan
kegiatan prostitusi.
Ada
hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat buta huruf dan minat baca
di Indonesia yang masih jauh dibawah rata – rata. Sebagian besar masyarakat
Indonesia pernah belajar di bangku Sekolah Dasar, namun tidak pula sebagian
besar mereka pernah belajar di bangku SMP. Tingkat buta huruf ini bisa membuat
para korban dengan mudah ditipu oleh sindikat - sindikat tersebut. Bisa saja
mereka mengiming – imingi korban untuk ikut dan bekerja dengannya dengan
bayaran yang relatif memuaskan, kemudian menandatangani kontrak dengan sindikat
tersebut. Namun, ternyata didalam surat perjanjian atau kontrak itu hal yang
diutarakan tidak sama dengan apa yang telah diucapkan oleh sindikat tersebut
kepada korban sebelumnya.
Lalu
selanjutnya yang akan terjadi adalah karena buta huruf mereka akan kesulitan
mengakses informasi yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi jika
mereka menjadi korban trafficking internasional. Masalah akan bertambah dengan
perbedaan budaya dan bahasa, maka selanjutnya yang hanya bisa mereka lakukan
adalah “melayani” para sindikat tersebut dan mereka menjadi aset para sindikat
untuk mendapatkan uang.
Sekarang
mereka hanya bisa melakukan apa yang dikatakan dengan “kewajiban” bagi mereka,
mereka tidak akan berdaya untuk melawan kepada para sindikat tersebut karena
mereka telah terlilit hutang. Inilah yang sebenarnya pelanggaran yang
hakekatnya adalah pelanggaran terhadap kewajiban. Kewajiban mereka yang
sebenarnya bukan untuk melakukan hal tersebut namun malah harus menjalani
pekerjaan tersebut.
Apakah
cukup bila kita hanya mengakui bahwa dewasa ini hak asasi manusia telah
diterima hampir universal sebagai norma hukum yang konkrit dan dapat
diindentifikasi? Bahwa pengamat seperti Weissbrotd dan Vasak pun menyatakan
dengan tegas bahwa hak asasi manusia telah menjadi ideologi universal.
Pertanyaan
ini dan banyak lagi, teramat penting karena persepsi mengeai eksistensi nilai
serta hubungan antara hak yang satu dengan yang lain dan hubungannya dengan
norma hukum akan menghasilkan konsekuensi – konsekuensi praktis sejauh
menyangkut proteksi terhadap hak asasi manusia.
Kembali
kepada topik kita tentang human trafficking ini, seperti yang diutarakan bahwa
ini merupakan tuntutan pelanggaran terhadap salah satu pasal dari undang –
undang hak asasi manusia, namun pada hakekatnya hal ini dipandang sebagai
pelanggaran terhadap kewajiban. Kewajiban yang seperti apa? Kewajiban orang tua untuk menyekolahkan dan
mendidik anak – anak agar mendapatkan pendidikan layak serta memahami dunia
melalui pendidikannya tersebut, serta kepedulian orang tua (ibu) kepada anak –
anaknya dengan tidak meninggalkan anaknya tanpa mendapat perlindungan dari
siapapun serta kewajiban orang tua untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi
keluarganya.
Dalam
praktek – praktek human trafficking ini, salah satu yang berpengaruh besar
adalah catatan kelahiran atau biasa dikenal dengan akte kelahiran. Mengapa
demikian? Dengan tidak adanya akte kelahiran, apalagi seorang perempuan akan
mempermudah pihak – pihak nakal ini untuk mengeksploitasi perempuan ini. Dengan
demikian mereka bisa memalsukan nota kelahiran perempuan tersebut dan
terjadilah mark up umur sehingga perempuan ini mendapat izin dan dianggap cukup
umur oleh pemerintah untuk bisa bekerja di luar negeri. Ketiadaan akte
kelahiran juga menjadi masalah bagi perlindungan seseorang, karena dimata
negara mereka tidak ada secara teknis.
Namun
secara tidak langsung hak anak ini telah dilindungi oleh UU No.10 Tahun
2012 tentang Optional Protocol to The Convention on the Rights of The Child on The
Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography ( Protokol Konvensi
Hak – Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Perdagangan Anak ).
Maka
berdasarkan Undang – Undang Konvensi Hak Anak tersebut didapat sebuah
kesimpulan bahwa anak berhak untuk mendapatkan perlindungan. Negara harus
menjamin perlindungan anak dari Diskriminasi (Penyandang cacat, minoritas,
dll), Eksploitasi (Keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam), perlindungan
hukum dan kekerasan.
Maka kesimpulannya
adalah perdagangan manusia (Human
Trafficking) adalah salah satu pelanggaran yang tuntutannya mengatasnamakan
pasal 3 dalam undang – undang hak asasi manusia namun pada hakekatnya hal ini
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang kebanyakan obyek sasarannya
adalah anak – anak dan wanita. Hal ini sulit diproses dan diselidiki karena
jaringan yang sempit dan rapi disusun oleh sindikat, serta untuk menyelidiki
hal ini diperlukan hal yang sangat sulit karena permasalahan yang kompleks melintasi
batas – batas negara serta untuk memahaminya perlu pengetahuan yang tinggi dan
banyak tentang hukum negara tersebut. Namun setidaknya dewasa ini telah ada
perlindungan dari UU No. 10 Tahun 2012 yang melindungi anak – anak dari
kegiatan perdagangan manusia serta yang pastinya kita semua harus waspada
terhadap human trafficking.
DAFTAR
PUSTAKA
Davidson Scoot. 1994. Hak Asasi Manusia ( Sejarah, teori, dan praktek dalam Pergaulan
Internasional. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti
Effendi Masyhur, Taufani S. Evandri. 2007. HAM dalam Dinamika Yuridis, Sosial, dan
Politik. Bogor : Ghalia Indonesia
Hartono Sunaryati. 1999. Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita dan Undang – Undang HAM. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Human Rights Corressponden. 2006. Aturan Main Hukum dan HAM Di Asia. Jakarta: School Asian Human
Rights Corressponden (AHRC)
Thontowi
Jawahir. Hukum Internasional. http://jawahirthontowi.wordpress.com/category/6-hukum-internasional/6-2-hukum-hubungan-internasional/. Diakses 24 September 2013
pada 23:45
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon