Demokrasi di Libya [My Exam Essay]


   Salah satu kawasan atau wilayah yang sangat sensitif terhadap masalah keamanan dan konflik adalah wilayah Timur Tengah. Hebatnya, semua konflik-konflik yang terjadi disana tidak hanya dalam bentuk dimensi (internal conflic), konflik antar-negara baik sesama negara Arab, tetapi bahkan melibatkan dan membawa masuk negara-negara non-Arab. Semua konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah ini tidak diimbangi dengan resolusi konflik yang memadai, hal tersebut tentunya berpengaruh tidak hanya terhadap citra kawasan dan wilayah konflik, tetapi juga memengaruhi keseimbangan politik, ekonomi, dan keamanan internasional.
 Di negara-negara Timur Tengah sistem pemerintahan otoriter masih diberlakukan. Beberapa negara di Timur Tengah yang di identikkan dengan negara otoriter seperti Tunisia, Bahrain, dan Mesir. Hal tersebut terjadi karena sistem pemerintahan negara-negara tersebut yang tidak demokratis dengan sangat minimnya partai politik ataupun lembaga kontrol sosial yang merupakan tempat aspirasi masyarakat. Bahkan, di negara Mesir dan Tunisia, hanya terdapat satu partai politik yang sangat dominan dalam pemerintahan sehingga pemegang kekuasaan tidak pernah diganti, hal tersebut tentu saja memperlihatkan tidak ada demokrasi yang seutuhnya dalam negara tersebut.
Dari beberapa negara di Timur Tengah, Libya merupakan salah satu negara yang paling otoriter. Libya dipimpin oleh Moammar Khadafy, dibawah kepemimpinannya Libya menerapkan sistem pemerintahan tanpa adanya partai politik. Sistem pemerintahan negara “Jamahiriya” atau negara rakyat, yang dalam teorinya merupakan tipe pemerintahan oleh rakyat melalui local councils, tetapi pada pelaksanaan pemerintahannya merupakan pemerintahan yang otoriter.[1]
Abdul Hadi Adnan dalam bukunya yang berjudul “Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika” menuliskan bahwa Moammar Khadafy menghapus semua ideologi berbau asing, terutama kapitalisme dan komunisme.[2] Ia berusaha mengembangkan pemikiran pribadinya dengan sebutan prinsip sosialisme Libya yang berpatokan pada tiga poin yaitu persatuan, sosialisme, dan kebebasan. [3]
Moammar Khdafy selama masa kepemimpinannya untuk Libya selalu memaksakan pemikiranya tentang demokrasi langsung yang sebenarnya, melalui sistem pemerintahan “Jamahiriyaí” tersebut. Menurutnya, demokrasi yang diterapkan diberbagai negara saat ini tidak sesuai dari demokrasi yang sesungguhnya. Hal yang Khadafy tidak sesuai dengan pemikirannya adalah sistem pemilihan dengan menganggap hasil pilih mayoritas sebagai perwakilan rakyat yang sah dan sebenarnya, menafikkan suara minoritas yang menghendaki perwakilan yang lain. Atas dasar pemikiran tersebutlah kemudian dia menjalankan pemerintahan tanpa partai politik maupun interest group.[4]
Pada Oktober 1969, Khadafy memberikan pidato kenegaraan yang menyebutkan bahwa Libya harus berada pada kondisi yang “satu” sehingga tidak diperlukan adanya partai politik, karena dengan adanya partai politik hanya akan menambah konflik dan memecah belah negara dalam berbagai bidang kehidupan. Bahkan, Khadafi mengancam siapapun yang bergabung dan membentuk partai politik merupakan sebuah pengkhianatan terhadap negara dan harus dihukum. Tidak hanya tercantum dalam pidato kenegaraan, hal tersebut juga dituangkan kedalam undang-undang No. 71 Tahun 1972[5]. Disebutkan bahwa partai politik merupakan bentuk kegiatan yang mengancam dan membahayakan negara.
Moammar Khadafy menjadi pemimpin Revolusi di Libya setelah berhasil memimpin revolusi untuk menjatuhkan raja Idris dengan cara kudeta, sebagai pemimpin monarki di Libya, pada 1 September 1969. Setelah kudeta tersebu, Khadafy mulai merambah dalam setiap masalah-masalah di Afrika dan Timur Tengah dengan garang.
Dengan kepemimpinan Khadafy, Libya menjadi negara pemrakarsa agenda-agenda bersatunya negara-negara Arab, hal tersebut juga mengantarkan Libya sebagai suatu negara yang sangat berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika Serikat yang berada dalam kawasan Timur Tengah dan Afrika.
Proses penanaman pemikiran politik dan pemerintahan anti-barat didalam negaranya berhasil ditanamkan Khadafy kepada rakyat negaranya. Khadafy menjadikan Libya sebagai negara tertutup yang diawali dengan keputusan menutup pengkalan militer Amerika Serikat di Libya.
Dengan keputusan tersebut, Amerika Serikat akhirnya memasukkan Libya kedalam daftar negara yang mendukung terorisme internasional. Kemudian, Libya dikait-kaitkan dengan beberapa tindakkan terorisme internasional, seperti pengeboman sebuah diskotik pada tahun 198 di Berlin, pengeboman pesawat Perancis pada 1989, dan yang paling terpopuler adalah pengeboman pesawat Pan Am Flight 103 di Lockerbie, Skotlandia. Hasilnya, Libya menjadi negara yang paling disegani dan berkali-kali menjadi sasaran embargo Amerika dan Sekutunya di Eropa.
Hasilnya, Libya menjadi negara yang disegani dan berulang kali menjadi sasaran embargo Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa.[6]
                        Tidak hanya itu, Khadafy juga memaksakan pemikiran pribadinya tentang sosialisme Libya dengan cara menasionalisasikan semua aset pihak asing di Libya, ketika ia memutuskan untuk menjadikan Libya sebagai negara yang tertutup, termasuk industri perminyakan.
                         Moammar Khadafy seringkali mengambil keputusan-keputusan yang bertentangan dengan keinginan Amerika Serikat dan sekutunya. Khadafy juga mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel. Dengan demikian, hal tesebut membawa hubungan yang sangat buruk antara Libya dengan negara barat.
                          Dunia internasional diwarnai dengan munculnya gejolak demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter di Timur Tengah, mendapatkan tekanan dari rakyatnya yang menginginkan pemerintah yang demokratis, termasuk diantaranya yaitu Libya. Hal tersebut membuat goyang dalam politik Libya pada 2010 dan membuat goyang panggung politik Moammar Khadafy.
Sanksi-sanksi internasional yang dibebankan Amerika Serikat kepada Libya, terutama sanksi ekonomi sangat memengaruhi kondisi ekonomi dan politik Libya. Libya yang tegas dan tangguh sebagai aktor internasional tetapi mengalami krisis pangan di dalam negaranya.
Libya menjadi negara yang sangat kaku. Di dalam undang-undang No.71 tahun 1972, dituliskan adanya pelanggaran yang menghina konstitusi negara. Tanpa adanya analisa lebih lanjut, hal tersebut menjadi dasar bagi negara untuk melarang semua bentuk demonstarsi terhadap pemerintah dan membendung semua aspirasi rakyat yang merupakan sebuah bentuk dari demokrasi, dan pemerintahan yang jamahiriya, yaitu suatu bentuk pemerintahan yang menghendaki posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan terbesar.
Setiap bangsa harus memiliki satu kepercayaan, Khadafy menuliskan bahwa upaya untuk menghindari potensi konflik suatu negara, harus berada pada kondisi yang bersatu dan utuh. Dalam bukunya yang berjudul “Green Book” dapat dilihat bahwa segala tindakan radikal yang pernah dilakukannya memang telah sejalan dengan apa yang dianggapnya sebagai upaya untuk menciptakan negara yang bersatu. Tidak mengkehendaki adanya perbedaan apapun di dalamnya dengan asumsi bahwa perbedaan megnantarkan pada disintegrasi dan kehancuran negara.
All citizens have the same formally defined civic rights, and the nation-state is widely accepted as legitimate. Definitions of and qualifications for citizenship are politically irrelevant. It should be noted that the Berbers – which constitute approximately 20% of the population, though this figure is contested – have expressed reservations about the dominant Arabic emphasis in language and tribal lineage and the discrimination against the Berber language. However, in August 2007, Berber activists were allowed to hold a congress in Tripoli for the first time. Prime Minister al-Baghdadi alMahmudi and Saif al-Islam al-Qadhafi visited Berber regions and launched economic projects there. In November 2008, six people were killed in gun battles that broke out between the Toubou and the Zawia tribe in Kufra in southeastern Libya. Officials said that a “minor incident” had been exaggerated by reports from abroad. In fact the non-Arab Toubou tribe is fighting against the same discrimination the Berbers are suffering from[7]
Dalam hal sistem politik, Khadafy mengatakan bahwa sistem politik yang selama ini berlaku bukanlah demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Khadafy juga menjelaskan demokrasi yang sebenarnya adalah perlibatan langsung masyarakat, sebab pemilihan wakil-wakil rakyat di dalam parlmen dan institusi lainnya bersifat tidak demokratis.
Dalam bukunya “The Green Book, Part I: The Solution of the Problem of Democracy” ia mengungkapkan bahwa demokrasi yang selama ini dikenal oleh semua orang sama sekali tidak demokratis dan hanya bersifat memecah belah. Sistem pemilihan dengan menempatkan perwakilan dengan memilih satu partai misalnya, dan sebagian lainnya memilih perwakilan dari partai lain, kemudian menempatkan mereka di DPR. Cara ini hanya akan melahirkan pertarungan kepentingan  yang sifatnya tidak umum serta melahirkan institusi politik itu-itu saja. Hal yang sama pula dengan pemilihan umum. Mengambil ketentuan pemenang pemilu jika berhasil memenangkan lebih dari 50%, arinya terdapat 49% suara yang tak terwakili sama sekali.
pertarungan “interest” yang tidak bersifat general melahirkan di antara institusiinstitusi politik ini saja. Begitu pula dengan pemilihan umum. Mengambil ketentuan pemenang pemilu jika berhasil memenangkan lebih dari 50% suara, artinya terdapat 49% suara yang tidak terwakili.[8]
Demokrasi langsung menurut Khadafy sebenarnya telah digantikan dengan model demokrasi yang ada pada saat ini, karena para penstudi demokrasi menyebutkan bahwa tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakannya, sehingga timbullah ide “perwakilan”. Namun, pada kenyataannya perkembangan populasi manusia sangat cepat. Maka, akan sulit untuk menempatkan setiap pemikiran dalam pembahasan isu-isu kenegaraan.
Khadafy sebagai Pemimpin Revolusi Libya tidak hanya memiliki peranan legislatif secara langsung serta tidak memiliki peranan eksekutif secara formal. Akan tetapi, ia memiliki kekuasaan yang besar untuk mengintervensi legislatif, eksekutig, dan yudikatif. Kekuaasan yang besar tersebut didapatkan Khadafy karena pengaruh yang besar dan relasinya yang hampir menguasai semua bidang pemerintahan.
Hal serupa juga didapatkan oleh putra-putra Khadafy. Walaupun mereka tidak memiliki jabatan struktural dalam pemerintahan Libya, kekuatan dan keputusan yang mereka buat bersifat undebateable. Hal tersebut dituliskan oleh Emanuella Paoletti,  seorang pestudi kawasan Timur Tengah dari Universitas Oxford, dalam tulisan yang berjudul “Libya: Root’s of a Civil Conflict”, menjelaskan :
Four overlapping power structures account for Libya’s endemic statelessness: Qadhafi and his family members; Qadhafi’s inner circle; the tribal system; and the formal structure of the state of the masses. Their relative strength and the nature of their interaction shed light on both Qadhafi’s rhetoric and the practical functioning of the ‘state of the masses’. It also draws attention to Libyans’ willingness to accept these power structures until the civil war in 2011[9]
Bahkan pada era 1980-an, Moammar Khadafy tidak segan-segan melakukan pembunuhan para pihak yang berseberangan paham dengannya.
Kebijakan dengan menghapuskan lawan politik merupakan langkah yang sangat kontroversial dan menuai banyak kritikan dari negara lain. Selama tahun 1984, setidaknya terjadi empat pembunuhan terhadap warga Negara Libya di luar negeri yang merupakan lawan politik dari Moammar Khadafy sedangkan 120 eksekusi lainnya berlangsung di Libya. Sikap Khadafy yang tidak menginginkan adanya identitas lebih dari satu inilah yang memaksa penghapusan terhadap partai politik dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi keberlansungan negara.
Dengan segala tindakan yang dilakukan Khadafy, Amerika Serikat kemudian menarik kesimpulan dengan memasukkan Libya sebagai “state sponsor of terrorism” seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hal tersebut berujung pada pemutusan hubungan diplomatik, dan pemberian sanksi ekonomi. Bahkan, pada April 1986, Amerika Serikat melancarkan serangkaian serangan memborbardir Tripoli dan Banghazi, yang mengakibatkan tewasnya putri Moammar Khadafy.
Buruknya hubungan Moammar Khadafy dengan Amerika Serikat dan sekutunya, kegagalan membina hubungan demi terwujudnya Persatuan Arab (Arab Unity), serta pengucilan Libya dari dunia diplomasi, dan timbulnya rasa takut terhadap figur Moammar Khadafy yang dianggap sangat koersif, membuat Libya diidentikkan dengan politik luar negeri radikal. Tidak segan-segan untuk
m*elakukan committed assassination terhadap lawan-lawan politiknya, bahkan diindikasikan terkait sekaligus pendukung gerakan separatisme di beberapa Negara seperti faksi keras Palestina, Irish Republican Army (IRA) di Irlandia Utara, separatis Basque di Spanyol, pemberontak muslim di Filipina Selatan, dan Thailand Selatan. Merasa visinya gagal dan tidak bersambut di kalangan Negara-negara Arab, Moammar Khadafy memutar scope politik luar negerinya sepenuhnya ke arah selatan, ke Afrika Hitam, dengan menyusung orientasi revolusionernya tentang “African Unity”.
Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan masa pemerintahan Khadafy dari segi politik domestik, ekonomi, dan kebijakan luar negerinya. Pola pemerintahan dan kebijakannya selama berkuasa yang merupakan sebuah rentang waktu serta menyimpan boomerang bagi dirinya sendiri. Pihak oposan yang selama pemerintahannya dianggap sebagai pengkhianat atas kedaulatan negara, akhirnya mendapatkan momentum yang tepat untuk membalas perlakuan Khadafy.
Seiring dengan gelombang demokratisasi yang melanda MENA (Middle East and North Africa) yang bermula terjadi di Mesir, gelombang tersebut juga menuntut agar pemerintahan otoriter Libya digantikan.
Berikut kronologi revolusi yang terjadi di Libya berdasarkan dokumen timeline kantor berita BBC dan Al-Jazeera:
No.
Kronologi Revolusi di Libya
1.
Februari tahun 2011, protester turun ke jalan-jalan di Benghazi, Ajdabiya, Darnah and Zintan. Penahanan terhadap campaigners hak asasi manusia menyebabkan protest anarkis di kota sebelah timur Benghazi dan secara cepat menyebar ke kota-kota lainnya. Otoritas yang berkuasa menggunakan pesawat terbang untuk menyerang para demonstran. Moammar Khadafy berkeras menyatakan tidak akan mundur dari posisinya sebagai pemimpin Libya, dan tetap memegang kendali di Ibukota Tripoli.

2,
Maret tahun 2011, Dewan Keamanan PBB menetapkan larangan terbang terhadap Libya dan serangan udara untuk melindungi warga sipil, yang kemudian menjadi asumsi dasar NATO untuk terlibat di Libya. 19 Maret, NATO mulai memborbardir Libya setelah PBB mengenakan sanksi no fly zone terhadap Libya dengan 10 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB menyatakan setuju, sementara 5 negara lain (Rusia, China, Jerman, India, dan Brazil abstain). PBB juga mengeluarkan resolusi international military action to protect civilian.  Dibantu dengan kekuatan udara NATO, pihak oposisi Libya berhasil menguasai beberapa wilayah akan tetapi dipukul mundur kembali dengan kekuatan militer pro-Moammar Khadafy. Pihak oposisi kemudian meminta bantuan Barat.

3.
Juli tahun 2011, International Contact Group Libya secara formal
membentuk pihak oposisi yang kemudian menjadi Dewan Transisi
Nasional Libya atau NTC dan melegitimasinya sebagai pemerintah
Libya. 
4.
Agustus tahun 2011, pihak oposisi mengepung basis Moamar Khadafy di Tripoli, enam bulan setelah revolusi dimulai. Dengan kalkulasi kekuatan yang semakin menurun, Moammar Khadafy memutuskan untuk bersembunyi. Ia beserta istri dan anak-anaknya terbang ke Algeria
5.
  Agustus-September 2011, Uni Afrika mengikuti langkah 60 negara   yang mengakui NTC sebagai otoritas Libya yang baru
20 Oktober 2011, Moammar Khadafy tewas. Tiga hari kemudian, NTC mengumumkan Libya secara resmi terbebaskan dan diumumkan pula rencana untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam 8 bulan.
6.
Novermber 2011, Saif Al-Islam, putra dari Moammar Khadafy, ditangkap, dan sekaligus menjadi anggota keluarga kunci terkahir dari Moammar Khadafy yang tertangkap ataupun dibunuh.
7.
Januari 2012, terjadi clash antara mantan anggota pemberontak di Benghazi sebagai bentuk ketidakpuasan atas langkah-langkah yang ditempuh oleh NTC. Kepala Deputi NTC, Abdel Hafiz Ghoga, mundur untuk meredam kritik yang ada.  Bulan berikutnya terjadi kekacauan antara tentara NTC dengan pasukan lokal dari Moammar Khadafy di Bani Walid. PBB mengumukan bahwa NTC menangkap lebih dari 8000 pendukung Moammar Khadafy yang ditempatkan pada sebuah pusat penahanan rahasia, yang sementara dilaporkan merupakan sebuah bentuk penyiksaan.


Tabel 1. Kronologi Revolusi People Power di Libya[10][11]



KESIMPULAN
1.      Pada masa pemerintahan Moammar Khadafy dengan bentuk pemerintahan yang otoriter yang dipimpinnya selama 42 tahun menimbulkan kebencian rakyat Libya terhadapnya. Pemikirannya yang memaksakan tentang Teori Dunia Ketiga, membuat rakyat Libya menderita akibat sikap koersif, pembatasan aktivitas, kebijakan ekonomi yang justru merugikan, sanksi-sanksi internasional akibat kebijakan luar negeri yang radikal, dan dominasi Moammar Khadafy yang absolut di Libya.
2.      Melalui People Power yang berhasil menjatuhkan rezim Khadafy, kini pemerintah Libya yang baru telah menyusun sistem dengan mengadopsi segala bentuk aspirasi dan kepentingan rakyatnya (demokrasi). Visi Libya sebagai negara demokrasi dengan panduan syariah Islam, menekankan pada poin political democracy and value of social justice. Dengan sistem demokrasi ini Libya hadir dengan konsep negara yang jauh berbeda dan jauh lebih baik daripada masa lalunya.
Kebijakan luar negeri Libyapun berubah dan cenderung ke arah low profile dengan menghindari konfrontasi atau lebih moderat. Pembinaan hubungan yang baik dengan negara-negara lain, terutama negara tetangga yaitu sesama negara-negara di Arab dan negara-negara di Afrika.



DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Abdul Hadi. 2008. Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika. CV. Angkasa. Bandung
Jones,  Walter S. 1993. Logika Hubungan Internasional:Kekuasaan, Ekonomi – Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nalle, Mhateos (ed). 1994. Revolusi Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. 
Brahimi, Alia. 2011. Libya’s Revolution. The Journal of North Africa Studies. Routledge. London School of Economics. United Kingdom. Vol. Vol. 16 No. 4 
Daoud, Nahla. 2011. Fear and Revolution in Libya. Perspective: Political Analysis and Commentary from Middle East. Ed. 2 Mei
Ibrahim, Amira.2009.Libya: A Critical Review of Tripoli’s Sub-Saharan African Policies.Institute for Security Studies
Pena, Mani Thess Q. 2001. People Power in A Regime of Cosntitutionalism and The Rule of Law. Philippine Law Journal. Vol. 76 No. 1 Pg. 19 diakses melalui
http://law.upd.edu.ph/plj/images/files/PLJ%20volume%2076/PLJ %20volume%2076%20number%201%20-01%20Mani%20Thess%20Q.%20Pe%C3%B1a%20-
%20People%20Power%20in%20A%20Regime%20of%20Constit
utionalism%20and%20the%20Rule%20of%20Law.pdf pada 23 Mei    2014

Division for Public Administration and Development Management of United Nations.2004.Great Socialist People’s Libyan Arab Jamahiriya Public Administration Country Profile. Diakses melalui
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/ unpan023273.pdf pada tanggal 4 Februari 2012
Economic Watch.2010.Economic Structure of Libya. Diakses melalui http://www.economywatch.com/world_economy/libya/structure-ofeconomy.html pada tanggal 4 Februari 2012
_____.2001.Libya: Opposition to Qadhafy. Diakses dari http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government
_____.2001.Libya: The Green Book Part III. Diakses melalui http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_governme nt_the_green_book_part~234.html  pada tanggal 3 Februari 2012 (republished from  The Library of Congress Country Studies


[1] 2011. The World Factbook. CIA.https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ly.html Diakses pada tanggal 25 Mei 2014 
[2]  Abdul Hadi Adnan. 2008. Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika. CV. Angkasa. Bandung. Op. Cit. Hal. 37  
[3]Ibid
[4]             _____. 2001.Libya: The Green Book Part I. http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government_the_green_book_part~232.ht ml Diakses pada tanggal 25 Mei 2014 (re-published from  The Library of Congress Country Studies)  
[5]         _____.2001.Libya: Opposition to Qadhafy.    http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government_opposition_to_qadhaf~229.html  Diakses pada  22 Mei 2014 (re-published from  The Library of Congress Country Studies)
 [6]        _____.2011.Country profile: Libya. Al Jazeera. http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/04/201141912643168741.html Diakses pada tanggal 26 Mei 2014
[7] _____. 2012. Libya Country Report. Diakses melalui http://bti2003.bertelsmanntransformation-index.de/134.0.html?&L=1 pada tangal 1 Juni  2014
[8]         _____.2001.Libya: The Green Book Part I.  Diakses dari http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government_the_green_book_part~232.ht ml pada tanggal 27 Mei 2014 (re-published from  The Library of Congress Country Studies)
[9] Emanuella Paoletti. 2011. Libya: Root’s of a Civil Conflict. Mediterranian Politics. Vol. 16, No. 2, Hal. 315–316
[10] _____. 2011. Battle for Libya: The Key Moments. Al-Jazeera. Diakses melalui http://www.aljazeera.com/indepth/spotlight/libya/2011/10/20111020104244706760.html pada tanggal 29 Mei 2014
[11]  _____. 2012. Libya: Profile. BBC UK. Diakses melalui http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13755445 pada tanggal 29 Mei 2014
Written by: Dekris Pratama
Written at: University of Riau
Written for: Mrs.
Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
 Date written: June 2014


Previous
Next Post »