Demokrasi Konstitusionil Abad Ke-19 dan 20



Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting, yakni Magna Charta (Piagam Besar) (1215). Merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.


Pada permulaan abad ke-16, di Eropa Barat muncul negara-negara nasional dalam bentuk modern. Terbentuk pula dua aliran, yakni Renaissance (1350-1600) yang berpengaruh di Eropa Selatan khususnya Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang berpengaruh di Eropa Utara khususnya di Jerman dan Swiss.

PENDAHULUAN

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan, dalam bentuk klasik sudah digunakan sejak zaman Yunani Kuno (abad 5 SM). Pada masa itu, Yunani dengan kotanya, Polis, telah mempraktikan pemerintahan dengan partisipasi langsung rakyat dalam membicarakan persoalan pemerintah. Gagasan demokrasi Yunani Kuno mulai hilang dari muka dunia Barat saat bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (abad 6-14).

Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord), kehidupan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya, pelaksanaan sistem demokrasi mengalami kemunduran karena banyak berkembang praktik-praktik tirani (kekuasaan yang semena-mena), oligarki (pemerintahan dipegang oleh kelompok elit), dan diktator.

PEMBAHASAN

Demokrasi Konstitusional dalam Abad ke-19 (Negara Hukum Klasik)

Kekuasaan pemerintah adalah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang dasr itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme (constitutionalism), sedangkan yang menganut gagasan ini dinamakan Contitutional State atau Rechsstaat.
Constitutionalism is a idea which states that government is a set of activities organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restraints which attempt to ensure that the power which is needed for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing (Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah).”[1] Carl J. Friedrich.
            Pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, gagasan mengenai perlunya pembatasan mendapat perumusan yuridis. Ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1904) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon (negara-negara maritim yang terletak di Eropa) seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law.
Empat Unsur Rechtsstaat menurut Stahl :
a.    Hak-hak manusia
b.    Pemisahan dan pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut Trias Politica)
c.    Pemerintah bedasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur)
d.    Peradilan administrasi dalam perselisihan[2]

Unsur-unsur Rule of Law oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup :
a.    Supremasi aturan-aturan hukum; tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b.    Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum. Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
c.    Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. [3]

Negara bersifat pasif dan hanya bergerak di bidang politik, baru bergerak apabila hak-hak manusia dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Maka dari itu sering disebut “Negara Hukum Klasik”.
Menurut Carl. J. Fredrich, konstitusionalisme adalah gagasan bahwa ”pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapt tugas untuk memerintah”. Pembatasan yang dimaksud termaktub dalam undang-undang dasar.
Ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl memakai istilah Rechsstaat, sedangkan ahli Ango Saxon seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule Of Law. Oleh Stahl disebut empat unsur-unsur Rechsstaat dalam arti klasik, yaitu:
  1. Hak-hak manusia.
  2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinetal biasanya disebut trias politica).
  3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid vn bestuur).
  4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik, seperti yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup:
  1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
  2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
  3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Perumusan-perumusan ini hanya bersifat yuridis dan hanya menyangkut bidang hukum saja dan itu pun dalam batas-batas yang agak sempit. Negara dalam pandangan ini dianggap sebagai Nachtwachterstaat (Negara Penjaga Malam) yang sangat sempit ruang gerkanya, tidak hanya di bidang politik, tetapi di bidang ekonomi. Kegiatan di bidang ekonomi dikuasai oleh dalil laissez faire, laissez aller, yang berarti bahwa kalau manusia dibiarkan mengurus seluruh negara dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya masing-masing maka akan dengan sendirinya keadaan ekonomi seluruh negara akan sehat. Negara hanya mempunyai tugas pasif, yakni baru bertindak apabila hak-hak manusia dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Konsepsi negara hukum tersebut adalah sempit, maka dari itu sering disebut ”Negara Hukum Klasik”.

Demokrasi Konstitusionil dalam Abad ke-20

Dalam abad ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II telah terjadi perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistim kapitalis; tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa, seperti di Swedia, Norwegia dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).

            Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi (staats-onthouding dan laissez faire) lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada dewasa ini dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistim yang menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberi  pelayanan kepada masyarakat)

Pada dewasa ini negara-negara modern mengatur soal-soal pajak, upah minimum, pensiun, pendidikan umum, asuransi, mencegah atau mengurangi pengangguran dan kemelaratan serta timbulnya perusahaan-perusahaan raksasa (anti-trust), dan mengatur ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak diganggu oleh depresi dan krisis ekonomi. Karena itu pemerintah dewasa ini mempunyai kecenderungan untuk memperluas aktivitasnya.

Sesuai dengan perubahan dalam jalan pikiran ini perumusan yuridis mengenai negara hukum klasik seperti yang diajukan oleh A.V. Dicey dan Immanuel Kant dalam abad ke-19 juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke 20, terutama sesudah Perang Dunia II. International Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 sangat memperluas konsep mengenai Rule of Law, dan menekankan apa yang dinamakannya "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age". Dianggap bahwa di samping hak-hak politik juga hak-hak sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standard-standard dasar sosial dan ekonomi.

Penyelesaian dari soal kelaparan, kemiskinan dan pengangguran merupakan syarat agar supaya Rule of Law dapat berjalan dengan baik. Pemerintah mempunyai tugas untuk mengadakan pembangunan ekonomi, sedangkan nasionalisasi dan landreform sering perlu diadakan, dan tidak bertentangan dengan Rule of Law. Untuk bisa menyelenggarakan ini perlu ada kekuasaan administratif yang cukup kuat. Diakui bahwa, terutama di negaranegara baru, agar supaya dapat mencapai keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial bagi individu, beberapa tindakan campur tangan dalam hak-hak individu menjadi tak terelakkan lagi. Hanya saja, campur tangan semacam itu tidak boleh lebih dari yang semestinya diperlukan dan harus tunduk pada jaminan-jaminan yang diberikan oleh Rule of Law.

Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law ialah:
  1. Perlindungan konstitusionil, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memeroleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
  2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
  3. Pemilihan umum yang bebas
  4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
  5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
  6. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)

KESIMPULAN
Demokrasi telah ada sejak lama, dan prakteknya terus dikembangkan hingga saat ini untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Telah terbukti bahwa Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lebih baik dari segala macam sistem lainnya. Bahkan sistem pemerintahan kerajaan absolut seperti yang dianut oleh Inggris dan Belanda sudah memiliki unsur demokrasi dalam sistemnya.

Meskipun praktek demokrasi di Indonesia belum menemui titik terang atau titik puncaknya, namun dengan fondasi yang kuat dan dengan segala pengalaman politik dan sosial dalam masyarakat, dapat dipastikan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia masih dapat berkembang lebih baik lagi.

KONSEP DEMOKRASI
DEKRIS PRATAMA
1301120520
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Riau
Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru 28293
Telp : (0761) 63266, Fax : (0761) 63279, 65593

[1]   Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, ed. ke-5 (Weltham, Mass.: Blaisdell Publishing Company, 1967), Bab VII.
[2]   Seperti disebut dalam Oemar Seno Adji, “Prasaran,” Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Seruling Masa 1966), hlm. 24.
[3] Seperti disebut dalam E.C.S. Wade and G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of the Law Citizen and the State and Administrative Law (London: Longmans, 1965), hlm. 50-51.
Previous
Next Post »