Salah satu kawasan atau wilayah yang sangat sensitif terhadap masalah
keamanan dan konflik adalah wilayah Timur Tengah. Hebatnya, semua
konflik-konflik yang terjadi disana tidak hanya dalam bentuk dimensi (internal conflic), konflik antar-negara
baik sesama negara Arab, tetapi bahkan melibatkan dan membawa masuk
negara-negara non-Arab. Semua konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah ini
tidak diimbangi dengan resolusi konflik yang memadai, hal tersebut tentunya
berpengaruh tidak hanya terhadap citra kawasan dan wilayah konflik, tetapi juga
memengaruhi keseimbangan politik, ekonomi, dan keamanan internasional.
Di negara-negara Timur Tengah sistem
pemerintahan otoriter masih diberlakukan. Beberapa negara di Timur Tengah yang
di identikkan dengan negara otoriter seperti Tunisia, Bahrain, dan Mesir. Hal
tersebut terjadi karena sistem pemerintahan negara-negara tersebut yang tidak
demokratis dengan sangat minimnya partai politik ataupun lembaga kontrol sosial
yang merupakan tempat aspirasi masyarakat. Bahkan, di negara Mesir dan Tunisia,
hanya terdapat satu partai politik yang sangat dominan dalam pemerintahan
sehingga pemegang kekuasaan tidak pernah diganti, hal tersebut tentu saja
memperlihatkan tidak ada demokrasi yang seutuhnya dalam negara tersebut.
Dari beberapa negara di Timur Tengah,
Libya merupakan salah satu negara yang paling otoriter. Libya dipimpin oleh
Moammar Khadafy, dibawah kepemimpinannya Libya menerapkan sistem pemerintahan
tanpa adanya partai politik. Sistem pemerintahan negara “Jamahiriya” atau negara rakyat, yang dalam teorinya merupakan tipe
pemerintahan oleh rakyat melalui local
councils, tetapi pada pelaksanaan pemerintahannya merupakan pemerintahan
yang otoriter.[1]
Abdul Hadi Adnan dalam bukunya yang
berjudul “Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika” menuliskan bahwa
Moammar Khadafy menghapus semua ideologi berbau asing, terutama kapitalisme dan
komunisme.[2] Ia berusaha mengembangkan
pemikiran pribadinya dengan sebutan prinsip sosialisme Libya yang berpatokan
pada tiga poin yaitu persatuan, sosialisme, dan kebebasan. [3]
Moammar
Khdafy selama masa kepemimpinannya untuk Libya selalu memaksakan pemikiranya
tentang demokrasi langsung yang sebenarnya, melalui sistem pemerintahan “JamahiriyaÔ tersebut. Menurutnya,
demokrasi yang diterapkan diberbagai negara saat ini tidak sesuai dari
demokrasi yang sesungguhnya. Hal yang Khadafy tidak sesuai dengan pemikirannya
adalah sistem pemilihan dengan menganggap hasil pilih mayoritas sebagai
perwakilan rakyat yang sah dan sebenarnya, menafikkan suara minoritas yang
menghendaki perwakilan yang lain. Atas dasar pemikiran tersebutlah kemudian dia
menjalankan pemerintahan tanpa partai politik maupun interest group.[4]
Pada
Oktober 1969, Khadafy memberikan pidato kenegaraan yang menyebutkan bahwa Libya
harus berada pada kondisi yang “satu” sehingga tidak diperlukan adanya partai
politik, karena dengan adanya partai politik hanya akan menambah konflik dan
memecah belah negara dalam berbagai bidang kehidupan. Bahkan, Khadafi mengancam
siapapun yang bergabung dan membentuk partai politik merupakan sebuah
pengkhianatan terhadap negara dan harus dihukum. Tidak hanya tercantum dalam
pidato kenegaraan, hal tersebut juga dituangkan kedalam undang-undang No. 71
Tahun 1972[5].
Disebutkan bahwa partai politik merupakan bentuk kegiatan yang mengancam dan
membahayakan negara.
Moammar Khadafy
menjadi pemimpin Revolusi di Libya setelah berhasil memimpin revolusi untuk
menjatuhkan raja Idris dengan cara kudeta, sebagai pemimpin monarki di Libya,
pada 1 September 1969. Setelah kudeta tersebu, Khadafy mulai merambah dalam
setiap masalah-masalah di Afrika dan Timur Tengah dengan garang.
Dengan
kepemimpinan Khadafy, Libya menjadi negara pemrakarsa agenda-agenda bersatunya
negara-negara Arab, hal tersebut juga mengantarkan Libya sebagai suatu negara
yang sangat berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika
Serikat yang berada dalam kawasan Timur Tengah dan Afrika.
Proses penanaman
pemikiran politik dan pemerintahan anti-barat didalam negaranya berhasil
ditanamkan Khadafy kepada rakyat negaranya. Khadafy menjadikan Libya sebagai
negara tertutup yang diawali dengan keputusan menutup pengkalan militer Amerika
Serikat di Libya.
Dengan keputusan
tersebut, Amerika Serikat akhirnya memasukkan Libya kedalam daftar negara yang
mendukung terorisme internasional. Kemudian, Libya dikait-kaitkan dengan
beberapa tindakkan terorisme internasional, seperti pengeboman sebuah diskotik
pada tahun 198 di Berlin, pengeboman pesawat Perancis pada 1989, dan yang
paling terpopuler adalah pengeboman pesawat Pan Am Flight 103 di Lockerbie,
Skotlandia. Hasilnya, Libya menjadi negara yang paling disegani dan
berkali-kali menjadi sasaran embargo Amerika dan Sekutunya di Eropa.
Hasilnya, Libya menjadi negara yang
disegani dan berulang kali menjadi sasaran embargo Amerika Serikat dan
sekutunya di Eropa.[6]
Tidak hanya itu, Khadafy juga memaksakan
pemikiran pribadinya tentang sosialisme Libya dengan cara menasionalisasikan
semua aset pihak asing di Libya, ketika ia memutuskan untuk menjadikan Libya
sebagai negara yang tertutup, termasuk industri perminyakan.
Moammar Khadafy seringkali mengambil
keputusan-keputusan yang bertentangan dengan keinginan Amerika Serikat dan
sekutunya. Khadafy juga mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel. Dengan
demikian, hal tesebut membawa hubungan yang sangat buruk antara Libya dengan
negara barat.
Dunia internasional diwarnai dengan
munculnya gejolak demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter
di Timur Tengah, mendapatkan tekanan dari rakyatnya yang menginginkan
pemerintah yang demokratis, termasuk diantaranya yaitu Libya. Hal tersebut
membuat goyang dalam politik Libya pada 2010 dan membuat goyang panggung
politik Moammar Khadafy.
Sanksi-sanksi
internasional yang dibebankan Amerika Serikat kepada Libya, terutama sanksi
ekonomi sangat memengaruhi kondisi ekonomi dan politik Libya. Libya yang tegas
dan tangguh sebagai aktor internasional tetapi mengalami krisis pangan di dalam
negaranya.
Libya menjadi negara yang sangat kaku. Di dalam undang-undang No.71
tahun 1972, dituliskan adanya pelanggaran yang menghina konstitusi negara. Tanpa
adanya analisa lebih lanjut, hal tersebut menjadi dasar bagi negara untuk
melarang semua bentuk demonstarsi terhadap pemerintah dan membendung semua aspirasi
rakyat yang merupakan sebuah bentuk dari demokrasi, dan pemerintahan yang jamahiriya, yaitu suatu bentuk
pemerintahan yang menghendaki posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan
terbesar.
Setiap bangsa harus memiliki satu kepercayaan, Khadafy menuliskan bahwa
upaya untuk menghindari potensi konflik suatu negara, harus berada pada kondisi
yang bersatu dan utuh. Dalam bukunya yang berjudul “Green Book” dapat dilihat bahwa segala tindakan radikal yang
pernah dilakukannya memang telah sejalan dengan apa yang dianggapnya sebagai
upaya untuk menciptakan negara yang bersatu. Tidak mengkehendaki adanya
perbedaan apapun di dalamnya dengan asumsi bahwa perbedaan megnantarkan pada
disintegrasi dan kehancuran negara.
All citizens have the same formally defined civic rights,
and the nation-state is widely accepted as legitimate. Definitions of and
qualifications for citizenship are politically irrelevant. It should be noted
that the Berbers – which constitute approximately 20% of the population, though
this figure is contested – have expressed reservations about the dominant
Arabic emphasis in language and tribal lineage and the discrimination against
the Berber language. However, in August 2007, Berber activists were allowed to
hold a congress in Tripoli for the first time. Prime Minister al-Baghdadi
alMahmudi and Saif al-Islam al-Qadhafi visited Berber regions and launched
economic projects there. In November 2008, six people were killed in gun
battles that broke out between the Toubou and the Zawia tribe in Kufra in
southeastern Libya. Officials said that a “minor incident” had been exaggerated
by reports from abroad. In fact the non-Arab Toubou tribe is fighting against
the same discrimination the Berbers are suffering from[7]
Dalam hal sistem
politik, Khadafy mengatakan bahwa sistem politik yang selama ini berlaku
bukanlah demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Khadafy juga menjelaskan
demokrasi yang sebenarnya adalah perlibatan langsung masyarakat, sebab
pemilihan wakil-wakil rakyat di dalam parlmen dan institusi lainnya bersifat
tidak demokratis.
Dalam bukunya “The Green Book, Part I: The Solution of the
Problem of Democracy” ia mengungkapkan bahwa demokrasi yang selama ini
dikenal oleh semua orang sama sekali tidak demokratis dan hanya bersifat
memecah belah. Sistem pemilihan dengan menempatkan perwakilan dengan memilih
satu partai misalnya, dan sebagian lainnya memilih perwakilan dari partai lain,
kemudian menempatkan mereka di DPR. Cara ini hanya akan melahirkan pertarungan
kepentingan yang sifatnya tidak umum serta
melahirkan institusi politik itu-itu saja. Hal yang sama pula dengan pemilihan
umum. Mengambil ketentuan pemenang pemilu jika berhasil memenangkan lebih dari
50%, arinya terdapat 49% suara yang tak terwakili sama sekali.
pertarungan “interest” yang tidak bersifat general melahirkan di antara
institusiinstitusi politik ini saja. Begitu pula dengan pemilihan umum.
Mengambil ketentuan pemenang pemilu jika berhasil memenangkan lebih dari 50%
suara, artinya terdapat 49% suara yang tidak terwakili.[8]
Demokrasi
langsung menurut Khadafy sebenarnya telah digantikan dengan model demokrasi
yang ada pada saat ini, karena para penstudi demokrasi menyebutkan bahwa tidak
memungkinkan lagi untuk melaksanakannya, sehingga timbullah ide “perwakilan”.
Namun, pada kenyataannya perkembangan populasi manusia sangat cepat. Maka, akan
sulit untuk menempatkan setiap pemikiran dalam pembahasan isu-isu kenegaraan.
Khadafy
sebagai Pemimpin Revolusi Libya tidak hanya memiliki peranan legislatif secara
langsung serta tidak memiliki peranan eksekutif secara formal. Akan tetapi, ia
memiliki kekuasaan yang besar untuk mengintervensi legislatif, eksekutig, dan
yudikatif. Kekuaasan yang besar tersebut didapatkan Khadafy karena pengaruh
yang besar dan relasinya yang hampir menguasai semua bidang pemerintahan.
Hal
serupa juga didapatkan oleh putra-putra Khadafy. Walaupun mereka tidak memiliki
jabatan struktural dalam pemerintahan Libya, kekuatan dan keputusan yang mereka
buat bersifat undebateable. Hal
tersebut dituliskan oleh Emanuella Paoletti,
seorang pestudi kawasan Timur Tengah
dari Universitas Oxford, dalam tulisan yang berjudul “Libya: Root’s of a Civil Conflict”, menjelaskan :
Four overlapping power structures account for Libya’s
endemic statelessness: Qadhafi and his family members; Qadhafi’s inner circle;
the tribal system; and the formal structure of the state of the masses. Their
relative strength and the nature of their interaction shed light on both
Qadhafi’s rhetoric and the practical functioning of the ‘state of the masses’. It
also draws attention to Libyans’ willingness to accept these power structures
until the civil war in 2011[9]
Bahkan pada era
1980-an, Moammar Khadafy tidak segan-segan melakukan pembunuhan para pihak yang
berseberangan paham dengannya.
Kebijakan dengan
menghapuskan lawan politik merupakan langkah yang sangat kontroversial dan
menuai banyak kritikan dari negara lain. Selama tahun 1984, setidaknya terjadi
empat pembunuhan terhadap warga Negara Libya di luar negeri yang merupakan
lawan politik dari Moammar Khadafy sedangkan 120 eksekusi lainnya berlangsung
di Libya. Sikap Khadafy yang tidak menginginkan adanya identitas lebih dari
satu inilah yang memaksa penghapusan terhadap partai politik dan
kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi keberlansungan negara.
Dengan segala
tindakan yang dilakukan Khadafy, Amerika Serikat kemudian menarik kesimpulan
dengan memasukkan Libya sebagai “state
sponsor of terrorism” seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hal
tersebut berujung pada pemutusan hubungan diplomatik, dan pemberian sanksi
ekonomi. Bahkan, pada April 1986, Amerika Serikat melancarkan serangkaian
serangan memborbardir Tripoli dan Banghazi, yang mengakibatkan tewasnya putri
Moammar Khadafy.
Buruknya hubungan
Moammar Khadafy dengan Amerika Serikat dan sekutunya, kegagalan membina
hubungan demi terwujudnya Persatuan Arab (Arab
Unity), serta pengucilan Libya dari dunia diplomasi, dan timbulnya rasa
takut terhadap figur Moammar Khadafy yang dianggap sangat koersif, membuat
Libya diidentikkan dengan politik luar negeri radikal. Tidak segan-segan untuk
m*elakukan committed assassination terhadap lawan-lawan politiknya, bahkan
diindikasikan terkait sekaligus pendukung gerakan separatisme di beberapa
Negara seperti faksi keras Palestina, Irish
Republican Army (IRA) di Irlandia Utara, separatis Basque di Spanyol,
pemberontak muslim di Filipina Selatan, dan Thailand Selatan. Merasa visinya
gagal dan tidak bersambut di kalangan Negara-negara Arab, Moammar Khadafy
memutar scope politik luar negerinya
sepenuhnya ke arah selatan, ke Afrika Hitam, dengan menyusung orientasi
revolusionernya tentang “African Unity”.
Pada pembahasan
sebelumnya telah dipaparkan masa pemerintahan Khadafy dari segi politik
domestik, ekonomi, dan kebijakan luar negerinya. Pola pemerintahan dan
kebijakannya selama berkuasa yang merupakan sebuah rentang waktu serta
menyimpan boomerang bagi dirinya sendiri. Pihak oposan yang selama
pemerintahannya dianggap sebagai pengkhianat atas kedaulatan negara, akhirnya
mendapatkan momentum yang tepat untuk membalas perlakuan Khadafy.
Seiring dengan
gelombang demokratisasi yang melanda MENA (Middle East and North Africa) yang
bermula terjadi di Mesir, gelombang tersebut juga menuntut agar pemerintahan
otoriter Libya digantikan.
Berikut kronologi
revolusi yang terjadi di Libya berdasarkan dokumen timeline kantor berita BBC dan Al-Jazeera:
No.
|
Kronologi Revolusi di Libya
|
1.
|
Februari tahun 2011, protester turun ke jalan-jalan di
Benghazi, Ajdabiya, Darnah and Zintan. Penahanan terhadap campaigners hak asasi manusia
menyebabkan protest anarkis di kota sebelah timur Benghazi dan secara cepat
menyebar ke kota-kota lainnya. Otoritas yang berkuasa menggunakan pesawat
terbang untuk menyerang para demonstran. Moammar Khadafy berkeras menyatakan
tidak akan mundur dari posisinya sebagai pemimpin Libya, dan tetap memegang
kendali di Ibukota Tripoli.
|
2,
|
Maret tahun 2011, Dewan Keamanan PBB menetapkan larangan
terbang terhadap Libya dan serangan udara untuk melindungi warga sipil, yang
kemudian menjadi asumsi dasar NATO untuk terlibat di Libya. 19 Maret, NATO
mulai memborbardir Libya setelah PBB mengenakan sanksi no fly zone terhadap Libya dengan 10 dari 15 anggota Dewan
Keamanan PBB menyatakan setuju, sementara 5 negara lain (Rusia, China,
Jerman, India, dan Brazil abstain). PBB juga mengeluarkan resolusi international military action to protect
civilian. Dibantu dengan kekuatan
udara NATO, pihak oposisi Libya berhasil menguasai beberapa wilayah akan
tetapi dipukul mundur kembali dengan kekuatan militer pro-Moammar Khadafy.
Pihak oposisi kemudian meminta bantuan Barat.
|
3.
|
Juli tahun 2011, International Contact Group Libya secara formal
membentuk pihak oposisi yang kemudian menjadi
Dewan Transisi
Nasional Libya atau NTC dan melegitimasinya
sebagai pemerintah
Libya.
|
4.
|
Agustus tahun 2011, pihak oposisi mengepung
basis Moamar Khadafy di Tripoli, enam bulan setelah revolusi dimulai. Dengan
kalkulasi kekuatan yang semakin menurun, Moammar Khadafy memutuskan untuk
bersembunyi. Ia beserta istri dan anak-anaknya terbang ke Algeria
|
5.
|
Agustus-September
2011, Uni Afrika mengikuti langkah 60 negara
yang mengakui NTC sebagai otoritas Libya yang baru
20 Oktober 2011, Moammar Khadafy tewas. Tiga
hari kemudian, NTC mengumumkan Libya secara resmi terbebaskan dan diumumkan
pula rencana untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam 8 bulan.
|
6.
|
Novermber 2011, Saif Al-Islam, putra dari Moammar Khadafy, ditangkap,
dan sekaligus menjadi anggota keluarga kunci terkahir dari Moammar Khadafy
yang tertangkap ataupun dibunuh.
|
7.
|
Januari 2012, terjadi clash
antara mantan anggota pemberontak di Benghazi sebagai bentuk ketidakpuasan
atas langkah-langkah yang ditempuh oleh NTC. Kepala Deputi NTC, Abdel Hafiz
Ghoga, mundur untuk meredam kritik yang ada.
Bulan berikutnya terjadi kekacauan antara tentara NTC dengan pasukan
lokal dari Moammar Khadafy di Bani Walid. PBB mengumukan bahwa NTC menangkap
lebih dari 8000 pendukung Moammar Khadafy yang ditempatkan pada sebuah pusat
penahanan rahasia, yang sementara dilaporkan merupakan sebuah bentuk
penyiksaan.
|
KESIMPULAN
1.
Pada masa pemerintahan Moammar
Khadafy dengan bentuk pemerintahan yang otoriter yang dipimpinnya selama 42
tahun menimbulkan kebencian rakyat Libya terhadapnya. Pemikirannya yang
memaksakan tentang Teori Dunia Ketiga, membuat rakyat Libya menderita akibat
sikap koersif, pembatasan aktivitas, kebijakan ekonomi yang justru merugikan,
sanksi-sanksi internasional akibat kebijakan luar negeri yang radikal, dan
dominasi Moammar Khadafy yang absolut di Libya.
2.
Melalui People Power yang berhasil menjatuhkan rezim Khadafy, kini
pemerintah Libya yang baru telah menyusun sistem dengan mengadopsi segala
bentuk aspirasi dan kepentingan rakyatnya (demokrasi). Visi Libya sebagai negara
demokrasi dengan panduan syariah Islam, menekankan pada poin political democracy and value of social
justice. Dengan sistem demokrasi ini Libya hadir dengan konsep negara yang
jauh berbeda dan jauh lebih baik daripada masa lalunya.
Kebijakan luar negeri
Libyapun berubah dan cenderung ke arah low
profile dengan menghindari konfrontasi atau lebih moderat. Pembinaan
hubungan yang baik dengan negara-negara lain, terutama negara tetangga yaitu
sesama negara-negara di Arab dan negara-negara di Afrika.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnan, Abdul Hadi. 2008. Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika. CV. Angkasa. Bandung
Jones, Walter S. 1993. Logika Hubungan Internasional:Kekuasaan, Ekonomi – Politik
Internasional, dan Tatanan Dunia 2. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nalle,
Mhateos (ed). 1994. Revolusi Demokrasi.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Brahimi,
Alia. 2011. Libya’s Revolution. The
Journal of North Africa Studies. Routledge. London School of Economics.
United Kingdom. Vol. Vol. 16 No. 4
Daoud,
Nahla. 2011. Fear and Revolution in Libya. Perspective:
Political Analysis and Commentary from Middle East. Ed. 2 Mei
Ibrahim,
Amira.2009.Libya: A Critical Review of Tripoli’s
Sub-Saharan African Policies.Institute
for Security Studies
Pena, Mani Thess Q. 2001. People Power in A
Regime of Cosntitutionalism and The Rule of Law. Philippine Law Journal. Vol. 76 No. 1 Pg. 19 diakses melalui
http://law.upd.edu.ph/plj/images/files/PLJ%20volume%2076/PLJ
%20volume%2076%20number%201%20-01%20Mani%20Thess%20Q.%20Pe%C3%B1a%20-
%20People%20Power%20in%20A%20Regime%20of%20Constit
utionalism%20and%20the%20Rule%20of%20Law.pdf pada 23 Mei 2014
Division
for Public Administration and Development Management of United Nations.2004.Great Socialist People’s Libyan Arab
Jamahiriya Public Administration Country Profile. Diakses melalui
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/
unpan023273.pdf pada tanggal 4 Februari 2012
Economic Watch.2010.Economic Structure of Libya. Diakses melalui http://www.economywatch.com/world_economy/libya/structure-ofeconomy.html
pada tanggal 4 Februari 2012
_____.2001.Libya: Opposition to Qadhafy. Diakses
dari http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government
_____.2001.Libya: The Green Book Part III. Diakses melalui http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_governme
nt_the_green_book_part~234.html pada
tanggal 3 Februari 2012 (republished
from The Library of Congress Country
Studies
[1] 2011. The World Factbook. CIA.https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ly.html
Diakses pada tanggal 25 Mei 2014
[2] Abdul
Hadi Adnan. 2008. Perkembangan Hubungan
Internasional di Afrika. CV. Angkasa. Bandung. Op. Cit. Hal. 37
[3]Ibid
[4] _____. 2001.Libya:
The Green Book Part I. http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government_the_green_book_part~232.ht
ml
Diakses pada tanggal 25 Mei 2014 (re-published from
The Library of Congress Country Studies)
[5] _____.2001.Libya:
Opposition to Qadhafy. http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government_opposition_to_qadhaf~229.html
Diakses pada 22 Mei 2014 (re-published from The Library of Congress Country Studies)
[6] _____.2011.Country profile: Libya. Al Jazeera. http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/04/201141912643168741.html
Diakses pada tanggal 26 Mei 2014
[7] _____. 2012. Libya
Country Report. Diakses melalui http://bti2003.bertelsmanntransformation-index.de/134.0.html?&L=1
pada tangal 1 Juni 2014
[8] _____.2001.Libya:
The Green Book Part I. Diakses dari http://www.photius.com/countries/libya/government/libya_government_the_green_book_part~232.ht
ml pada
tanggal 27 Mei 2014 (re-published from
The Library of Congress Country Studies)
[9] Emanuella Paoletti. 2011. Libya: Root’s of a Civil
Conflict. Mediterranian Politics.
Vol. 16, No. 2, Hal. 315–316
[10] _____. 2011. Battle for Libya: The Key Moments. Al-Jazeera. Diakses melalui http://www.aljazeera.com/indepth/spotlight/libya/2011/10/20111020104244706760.html
pada tanggal 29 Mei 2014
[11] _____.
2012. Libya: Profile. BBC UK. Diakses
melalui http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13755445 pada tanggal 29 Mei 2014
Written by: Dekris Pratama
Written at: University of Riau
Written for: Mrs. Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
Date written: June 2014
Written at: University of Riau
Written for: Mrs. Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
Date written: June 2014
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon