Neo-realisme
sebuah teori dalam hubungan
internasional yang pencetusnya adalah Kenneth Waltz pada tahun 1979. Didalam
buku yang berjudul Theory of
International Politics, Waltz mendukung pendekatan sistematik. Pendekatan
sistematik ini adalah struktur international bertindak sebagai pengekang
perilaku negara, sehingga hanya negara yang kebijakan-kebijakannya ada dalam
cakupan tersebut yang diharapkan dapat bertahan. Sistem ini sama bentuknya
dengan model mikroekonomi ketika firma menetapkan harga dan kuantitas
berdasarkan pasar.
Neo-Realisme berpendapat bahwa negara adalah
actor yang paling utama dalam hubungan internasional. Struktur anarki perilaku
setiap negara yang menyebabkan perebutan kekuasaan bukan pada hakikat
manusianya. Dalam system struktrual anarki, negara harus bertindak semata-mata
berdasarkan pada kepentingannya sendiri. Berikut beberapa asumsi dari
Neo-Realisme yang dikemukakan oleh Waltz yaitu (1) Organizing Principle, menurut Waltz dalam pembuatan system hukum
bagi tatanan dan kerjasama internasional selalu ditetapkan pada kondisi yang
anarki. (2) Functional Differentiation,
yaitu tidak adanya pembagian kerja dalam hubungan internasional, (3) Distribution of Capability, konsep
ketiga ini menjelaskan bahwa semua negara memiliki kedudukan yang sama dalam
hubungan internasional, akan tetapi yang membedakannya adalah kapabilitas
negara tersebut. Dalam konteks kepentingan, semakin besar power yang dimiliki
suatu negara maka akan semakin besar potensinya untuk menang dalam dunia
internasional.
Neo-Realisme lebih menekankan pada isu
keamanan internasional. Waltz berpendapat bahwa setiap negara akan memiliki
cara yang berbeda-beda dalam hal penjagaan Balance
of Power yang diterapkannya. Struktur bipolar yang didominasi oleh dua
negara adidaya akan lebih stabil daripada multipolar yang didominasi oleh tiga
negara adidaya[1].
Beranjak
kepada topic yang akan dibahas yaitu mengenai Konflik Israel dan Palestina dalam Kacamata
Neo-realis. Perang antara Israel
dan Palestina pecah pada tahun 1948 pasca berdirinya negara Israel. Berdirinya negara zionis
ini didasari oleh Resolusi Majelis Umum PBB 181 tahun 1947 tentang pembagian
tanah historis Palestina yang hasilnya menghadiahi Israel bagian dari tanah
palestina sebesar 55%. Namun, Israel telah melakukan penambahan wilayah secara
paksa atas Palestina dengan penambahan sebesar 23% sehingga luas wilayah Israel
menjadi 78% dari total tanah Palestina.
Dalam
kasus ini, menunjukkan adanya penindasan terhadap warga sipil Palestina yang
berlangsung secara terus-menerus. Dari sudut pandang inilah penulis akan
memaparkan sejauh mana pendekatan Neo-realis dapat menjelaskan dan memberikan
solusi bagi permasalahan ini. Argumen utama adalah adanya ketidakadilan yang
didapatkan oleh individu-individu Palestina yang tidak mendapatkan hak untuk
hidup secara damai disebabkan konflik antar kedua negara tersebut. Dalam hal
ini, Neo-Realis tidak memihak kepada setiap individu Palestina karena
Neo-Realis hanya fokus pada bahasan state bukan pada individu. Sehingga,
pembahasan mengenai individu di dalam konflik Israel dan Palestina terabaikan.
Dengan adanya penggunaan perspektif neo-realisme akan sulit untuk memberikan
solusi dalam memecahkan masalah atas konflik yang terjadi. Berikut ini
dijelaskan kelemahan dan kelebihan neo-realis dalam menganalisa konflik Israel
dan Palestina.
Penyelesaian
konflik antara Israel
dan Palestina belum selesai hingga saat ini, berawal dari adanya deklarasi
Balfour tahun 1917 yang mengikat Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat untuk
mendukung negara bagi bangsa yahudi di tanah Palestina. Isi dari deklarasi
tersebut adalah sebagai berikut :
“His Majesty’s Government view with favour
the establishment in Palestina of national home for the Jewish people, and will
use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it
being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the
civil and religious rights or existing non-Jewish communities in Palestina, or
the right and political status enjoyed by Jews in any other country “.[2]
Hal
itulah yang menjadi legitimasi bagi Israel untuk melakukan perluasan
wilayah bagi pemukiman Yahudi melalui agresi-agresi di tanah Palestina yang
dianggapnya sebagai “Promised Land”. Agresi yang dilakukan sudah sebanyak tiga
kali yaitu pada tahun 1948 yang menyebabkan rakyat Palestina mengungsi ke
Lebanon, Yordania, Syiria dan Mesir. Pada tahun 1982 Israel
menyerang Lebanon
dan membantai pengungsi Palestina di Sabra dan Satila. Terakhir pada tahun 2008
Israel
melancarkan operasi Oferet Yetssuka yang menewaskan lebih dari 1000 warga
Palestina.
Diantara
beberapa persenjataan Israel
yang dipakai secara illegal terhadap warga sipil Palestina, Israel
juga melakukan eksperimen dengan membuat senjata rakitan baru yang memuculkan
argument “Kejahatan Dalam Peperangan”. Jenis persenjataan baru tersebut
diatantaranya sebagai berikut :
·
Bom Fosfor
Israel
menggunakan bom ini secara illegal, bom fosfor putih di wilayah
-wilayah sipil
padat penduduk. Berdasarkan penelitian dari tim pencari fakta dari Human Rights
Watch, penggunaan bom jenis ini terlihat di jalur Gaza yang memakan korban sipil yang amat
besar. Ledakan dari bom fosfor ini mencapai radius tiga kali lapangan
sepakbola.
·
Panah Besi (Flechette)
Flechette
berbentuk besi panas berukuran 4 cm yang dimasukkan ke dalam peluru-peluru tank
Markava. Cara kerjanya adalah ketika ditembakkan, sekitar 5000 sampai 8000
panah besi itu menyebar ke udara dengan radius 300 meter.
·
Uranium Sisa (depleted uranium)
Penemuan
jejak-jejak uranium sisa pada jenazah korban agresi Isral menunjukkan bahwa Israel
telah menggunakan senjata illegal dalam agresinya. Penggunaan uranium sisa ini
menurut Badan Energi Atom PBB sangat beresiko karena akan menyebabkan kanker
karena terpapar radiasi dari uranium tersebut. Konvensi Jenewa sebelumnya telah
menggolongkan amunisi-amunisi yang mengandung
uranium sisa sebagai senjata pemusnah massal yang illegal mengingat
tingginya resiko radioaktif yang dikandungnya.[3]
Palestina tidak
diam terhadap semua tindakan Israel
tersebut. Mereka melakukan sebuah pemberontakan untuk memprotes tindakan Israel
dan untuk mempertahankan otoritas politik serta wilayahnya.
Pada September
1966, kerusuhan di Al-Aqsa terjadi. Kerusuhan tersebut terjadi karena tindakan Israel
yang dengan sengaja membangun terowongan dibawah fondasi bangunan Al-Aqsa untuk
memikat para turis. Namun, dengan pembangunan tersebut justru akan lebih
merusak mesjid Al-Aqsa. Setelah kejadian tersebut timbullah konflik-konflik berikutnya
pada Desember 2008, Israel
menyerang Gaza
dan menewaskan lebih dari 1000 orang.[4]
Serangan-serangan
di Gaza oleh Israel menimbulkan kecaman dari dunia internasional terutama PBB
dengan menyebut bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang dengan kata lain
bahwa Israel telah melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kemudian
pada Oktober 2009, kembali melakukan penyerangan terhadap warga sipil Palestina
di halaman masjid Al-Aqsa. Dalam beberapa kasus yang telah dipaparkan diatas, Israel
selalu berupaya untuk mengekspansi Palestina dengan menggunakan kekuatan
militer yang dimilikinya. Salah satu perlawanan yang dilakukan Palestina
hanyalah dari gerakan politis Palestina (HAMAS) yang selalu mengkoordinir
rakyat untuk membalas serangan-serangan Israel.
Dalam
kasus perebutan masjid Al-Aqsa dapat dijelaskan bahwa bangunan tersebut
merupakan bangunan dan tempat suci bagi umat muslim. Bangunan tersebut
menyimpan sejarah dan pernah menjadi arah kiblat sebagai patokan ibadah sebelum
dipindahkan ke Mekkah. Namun, Israel mengklaim bahwa bangunan tersebut
didalamnya terdapat kuil Sulaiman, sehingga Israel juga merasa berhak untuk
memiliki bangunan tersebut.
Kaitannya
dengan perspektif Neo-Realisme yaitu Kenneth Waltz sebagai penggagas
Neo-Realisme tidak lagi membahas mengenai kerjasama. Ia lebih berpendapat bahwa
sulit dilakukan dalam anarki dan masing-masing negara memiliki national
interestnya. Dalam pandangannya, Neo-Realis memfokuskan diri pada struktur
system distribusi relative gain daripada absolute gain yang berarti lebih
mempertahankan security policies yang melemahkan lawan daripada harus menyerang
lawan. Waltz juga memberikan pendapatnya, ada penyebab negara menemui konflik,
yaitu sulitnya komunikasi antar masing-masing aktor, karena hanya mementingkan
national interestnya dan adanya biaya yang mahal dalam melakukan kerjasama
dalam anarki dan potensi untuk curang.
Setelah
mengamati berbagai konflik Israel
dan Palestina dengan menggunakan perspektif Neo-Realisme, setidaknya kita dapat
mengungkap tiga hal penting berikut. Hal penting berikut ini adalah kontribusi
Neo-Realisme dalam memandang masalah konflik Israel dan Palestina.
1.
Konflik antara Israel
dan Palestina hingga saat ini belum terselesaikan karena Israel merupakan aktor yang kuat di
kawasan timur tengah. Dalam pandangan Neo-Realisme, akan memiliki keuntungan
yang besar apabila memiliki wilayah yang besar dan memengaruhi wilayah lain
disekitarnya sehingga saling berkompetisi satu dengan lainnya. Hal tersebut
dikarenakan negara memiliki kekuatan maka dengan kekuatan yang sangat dominan
tersebut digunakan untuk menunjukkan eksistensi sebuah negara dalam system
internasional.
2.
Israel
memiliki kepentingan nasional tersendiri sehingga mendapati konflik dengan
Palestina dan negara-negara kawan timur tengah lainnya. Dalam menggunakan
pandangan Neo-Realisme, maka kepentingan Palestina akan terabaikan karena
kekuatan yang dimiliki oleh Israel
yang memanfaatkan kedekatannya dengan Amerika Serikat untuk mengejar
kepentingan nasionalnya, yang biasa dengan sebutan Relative Gain.
3.
Keseimbangan kekuasaan di Timur Tengah yang telah
diintervensi oleh Amerika Serikat menjadikan Israel sebagai kuat yang sulit
untuk diimbangi oleh aktor dikawasan Timur Tengah. Selain itu, komitmen Amerika
Serikat kepada Israel dapat
dilihat sejak awal berdirinya negara Israel. Konferensi Zionis
Internasional di New York pada 11 Mei 1942 memutuskan untuk merubah negara
Palestina sebagai negara Yahudi, dan mengusir warga negara Arab didalamnya dan
apabila mereka menolak, diizinkan untuk menggunakan kekuatan militer. Selama
masa pemerintahan Presiden George W. Bush, Amerika Serikat telah mengeluarkan
150 kebijakan politik untuk menanggulangi krisis ekonomi dan politik Israel dan
resolusi yang mengesampingkan hak-hak rakyat Palestina terhadap tanahnya. Dalam
hal militer, Israel
banyak dibantu oleh Amerika Serikat seperti pesawat F-16, helicopter Apache,
dan rudal canggih serta dibantu untuk mengembangkan senjata militernya.
KESIMPULAN
Dari
semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perspektif Neo-Realis sangat
menimbulkan kerugian bagi rakyat Palestina. Dengan adanya aktor non-state yang
terlibat dalam konflik tersebut yaitu HAMAS yang tidak langsung mewakili rakyat
Palestina, namun semua itu tidak dapat dilihat dalam perspektif Neo-realis
sendiri. Hal ini mempersulit dalam penyelesaian konflik kedua negara tersebut
dengan pendekatan perspektif ini. Dengan perspektif Neo-Realisme sangat lemah
untuk mencari solusi bagi pihak Palestina dalam penyelesaian konflik. Kelemahan
yang terdapat dalam perspektif Neo-Realisme dalam menganalisa konflik
Israel-Palestina ini tidak akan menemukan titik terang, dikarenakan di dalam
konflik tersebut telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap individu
yang tidak akan terpecahkan oleh perspektif Neo-Realisme itu sendiri. Dengan
begitu, teori yang dibutuhkan untuk kedua negara ini adalah teori yang tidak
hanya berhubungan dengan negara sentries dan kekuatan tetapi juga teori yang
melihat individu di dalamnya sehingga isu keadilan dapat dipecahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Labib, Muhsin dan Irham
Abdurrahman.(2009).“Gelegar Gaza”. Jakarta
: Zahra Publishing House
Khairi, Ahmad Gazali dan Amin
Bukhairi.(2009). “Air Mata Palestina”. Jakarta
: HI-Fest Publishing
Sihbudi,
Riza.(2007).“Menyandera Timur Tengah”. Jakarta
: PT. Mizan Republika
Carr, William.G.(1993).“Yahudi
Menggenggam Dunia”. Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar
Nurdi, Herry.(2006).“Lobi
Zionis & Rezim Bush-Teroris Teriak Teroris”. Jakarta : PT. Mizan Republika
Jackson,
Robert dan Georg Sorensen.(2009).“Pengantar Studi Hubungan Internasional”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
More than 1000 Killed in Gaza http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/7828884.stm
diakses pada 2 Juni 2014
[1] Martin Griffiths. Lima Puluh Pemikir
Studi Hubungan Internasional, Jakarta:
Murai Kencana, 2001, hlm. 66
[2] The Balfour Declaration.
http//www.mfa.gov.il/mfa/foreignpolicy/peace/guide/pages/the%20balfour%20declaration.aspx
[3] Muhsin Labib dan Irham Abdurrahman,Gelegar Gaza,(Jakarta: Zahra Publishing House,
2009),h.128-129.
[4]More than 1000 killed in Gaza. http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/7828884.stm
Written by: Dekris Pratama
Written at: University of Riau
Written for: Mrs. Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
Date written: June 2014
Written at: University of Riau
Written for: Mrs. Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
Date written: June 2014
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon