A
democracy is a political system and ideology in which the people or community
are made found from western. Democracy is an encouraging development of
political equality and under conditions of political freedom, it’s mind a
government of the people, by the people, for the people, either directly or
through representatives.
Democracy
to develop as human institutions and political practice in which exercized to
response of social culture in each countries environment. When the democracy
transplant to non-western and some of ex-colonize countries in which different
historical and culture, it’s the need and goals of reform and adaption as well
as new environment.
The
problems for exercising sovereign of
democracy, how implementation at work of government of the people, by the
people, for the people, provides opportunities for effective participation in
practice and a fact. This paper will approach these issues, as well as offer
some materials digest for real democracy.
Keywords:
government, sovereign, democracy.
PENDAHULUAN
Demokrasi
adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi
menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh
rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep
sebagai warga negara.
Demokrasi
ini kemudian dibangun dan dikembangkan sebagai suatu rangkaian institusi dan
praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk merespon
perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di
masing-masing negara. Ketika demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam
negara-negara non-Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah
dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam
penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda.
Terdapat
sesuatu hal yang sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi,
yaitu masalah bagaimana pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat
itu diimplementasi dan direalisasi, sehingga efektif dalam praktek dan dalam
kenyataan. Tulisan ini hendak menyajikan pemaparan sebagai bahan pemikiran yang
bertalian dengan konsep demokrasi, termasuk di dalamnya partisipasi demokrasi
dan kehidupan bernegara yang demokratis.
PEMBAHASAN
Demokrasi Dalam
Konsep
Istilah
demokrasi berasal dari dua asal kata, yang mengacu pada sistem pemerintahan
zaman Yunani-Kuno yang disebut ‘demokratia’,
yaitu ‘demos’ dan ‘kratos atau kratein’. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud
dengan demokrasi, yaitu demos
yang berarti rakyat dan kratos
atau cratein yang berarti
memerintah, pemerintahan yang
dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau
pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Warren,
1963: 2), warga masyarakat yang
telah terkonsep sebagai warga negara. Dengan demikian dilihat dari arti kata
asalnya, demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas
itu arti istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam
praktek demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda.
Pada
zaman Yunani-Kuno, kata demokrasi digunakan untuk menunjuk pada ‘government by the many’ (pemerintahan
oleh orang banyak), sebagai lawan dari ‘government
by the few’ (pemerintahan oleh sekelompok orang). MacGregor Bums,
dalam Government by the People (1989: 3),
memberikan pengertian demokrasi, sebagai:
A system of
government in which those who have authority to make decisions (that have the
force of law) acquire and retain this authority either directly or indirectly
as the result of winning free elections in which the great majority of adult
citizens are allowed to participate.
Henry B. Mayo dalam
An Introduction to Democratic Theory (1960:
70), memberikan pengertian demokrasi, sebagai:
A democratic
political system is one in which public politicies are made on majority basis,
by representatives subject to effective popular control at periodic elections
which are conducted on the principle of political equality and under conditions
of political freedom.
Dari rumusan
tersebut memberikan sifat pemahaman umum terhadap suatu negara yang menganut
sistem demokrasi, yaitu:
- demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mempunyai elemen-elemen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan;
- orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan dan menegakkan hukum;
- kekuasaan untuk mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa.
Dari
tiga sifat pemahaman umum tersebut, suatu negara demokrasi mempunyai tiga
pemahaman utama yang meliputi hakekat, proses dan tujuan demokrasi (Huntington,
1995: 4). Huntington,
melihat demokrasi dalam tiga pendekatan umum yaitu: sumber wewenang bagi
pemerintah; tujuan yang dilayani oleh pemerintah; dan prosedur untuk membentuk
pemerintahan.
Demokrasi
adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Henry B. Mayo,
1960: 70). Dengan kata lain demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dibentuk
melalui pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama berdasar aturan hukum
yang berpihak pada rakyat banyak. Harris G. Warrant dalam Our Democracy at Work (1963: 2),
memberikan rumusan pengertian demokrasi sebagai, “a government of the people, by the people, for the people”.
Bryan A. Garner dalam Black’s Law
Dictionary (1999: 444), memberikan arti demokrasi sebagai “government by the people, either directly or
through representatives”.
Dari
pemahaman mengenai demokrasi di atas, maka pilihan terhadap negara demokrasi
akan mempunyai konsekuensi demokrasi yang harus diperhatikan, yakni memberikan
kesempatan kepada rakyat selaku warga negara untuk menjalankan hak dan
kewajiban politiknya dalam bernegara. Dikemukakan oleh Robert A. Dahl dalam On Democracy (1998: 38), bahwa “democracy provides opportunities for effective
participation; equality in voting; gaining enlightened understanding; exercising
final control over the agenda; inclusion of adults”. Artinya, bahwa
dengan demokrasi akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk partisipasi
yang efektif; persamaan dalam memberikan suara; mendapatkan pemahaman yang
jernih; melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda; dan pencakupan warga
dewasa. Konsekuensi demokrasi tersebut akan memberikan standar ukuran umum
dalam melihat suatu negara sebagai negara demokrasi. Dengan kata lain, ketika
kesempatan-kesempatan yang merupakan konsekuensi dari standar ukuran umum
negara demokrasi tersebut tidak dijalankan, maka negara tersebut tidak dapat
dikualifikasikan sebagai negara demokratis.
Konsep demokrasi semula lahir dari
pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani-Kuno dan dipraktekkan
dalam hidup bernegara antara Abad ke-IV sebelum Masehi sampai Abad ke-VI
Masehi. Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaan demokrasi yang dipraktekkan
secara langsung (direct democracy),
artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara
langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur
mayoritas. Dalam perkembangannya telah
mengalami dua kali bentuk transformasi demokrasi, yakni transformasi demokrasi
negara kota di Yunani dan Romawi-Kuno pada Abad ke-V sebelum Masehi, serta
beberapa negara kota di Italia pada masa abad pertengahan, dan transformasi
yang terjadi dari demokrasi negara kota menjadi demokrasi kawasan bangsa,
negara, atau negara nasional yang luas (Dahl, 1992: 3-4).
Dengan adanya dua bentuk transformasi
demokrasi tersebut, telah mengubah tatanan secara mendasar bentuk demokrasi
sebagai akibat terjadinya perpindahan dari negara kota ke negara bangsa. Robert
A. Dahl mengemukakan delapan akibat yang ditimbulkan dari adanya penerapan
demokrasi pada wilayah negara bangsa yang luas, yaitu: perwakilan; perluasan
yang tidak terbatas; batas-batas demokrasi partisipatif; keanekaragaman;
konflik; poliarkhi; pluralisme sosial dan organisasional; dan perluasan hak-hak
pribadi. Dari sini terlihat bahwa bentuk dan susunan negara demokrasi pada masa
Yunani-Kuno sangat berbeda dengan bentuk dan susunan negara demokrasi pada masa
sekarang.
Pada negara kota bentuk demokrasi dilakukan
secara langsung (direct democracy),
yaitu rakyat berkumpul di suatu tempat yang dinamakan ‘ecclesia’ untuk secara langsung
memecahkan masalah yang muncul secara bersama-sama (Kusnardi dan Saragih, 1995:
85). Oleh karena itu demokrasi di negara kota pada masa Yunani-Kuno dikenal
pula sebagai demokrasi partisipatif dan tidak mengenal lembaga perwakilan
(Dahl, 2001: 16). Pada negara-negara modern dikembangkan model demokrasi tidak
langsung melalui lembaga perwakilan (Saragih, 1988: 79). Lembaga perwakilan
memegang peranan yang penting dalam menata jalannya roda pemerintahan bagi
negara demokrasi modern, walaupun pada mulanya keberadaan lembaga perwakilan
bukan dimaksudkan sebagai perangkat sistem demokrasi. Hal inilah yang merupakan
perbedaan secara mendasar antara negara kota dengan negara bangsa dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan. Praktek demokrasi pada negara-negara kota tidak
terdapat lembaga perwakilan, sebab demokrasi menjadi pertemuan warga kota untuk
membahas masalah secara bersama-sama.
Suatu hal yang penting berkenaan dengan
demokrasi pada abad pertengahan, yakni lahirnya dokumen ‘Magna Charta’, suatu piagam yang
berisikan semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di
Inggris, bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan ‘previleges’ bawahannya sebagai imbalan
untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Lahirnya piagam ini,
kendati tidak berlaku bagi rakyat jelata, dapat dikatakan sebagai lahirnya
tonggak baru bagi perkembangan demokrasi. Sebab dari piagam tersebut terlihat
adanya dua prinsip dasar, yakni kekuasaan raja harus dibatasi, dan hak asasi
manusia lebih penting daripada kedaulatan raja (lihat Ramdlon, 1983: 9).
Kecaman dan perombakan terhadap absolutisme
monarkhi didasarkan pada teori rasionalistis sebagai ‘social contract’ yang salah satu
harapannya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam
(natural) yang mengandung
prinsip-prinsip keadilan universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang
baik raja, bangsawan, maupun rakyat jelata (lihat Budiardjo, 1980: 55).
Dari sini terlihat bahwa teori hukum alam
merupakan usaha untuk merombak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak
politik rakyat dalam suatu asas yang disebut democracy
(pemerintahan rakyat). Dua filsuf besar, John Locke (1632-1704) dari Inggris
dan Charles Louis de Secondat, Baron de La Bre’de et de La Montesquieu
(1689-1755) dari Perancis, memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan
pemerintahan demokrasi. John Locke mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat
mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberty, property). Sedangkan Montesquieu
mengemukakan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik
tersebut melalui teori ‘separation of
powers’ atau ‘trias politica’,
yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke dalam kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang masing-masing harus dipegang oleh
organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip semua kekuasaan itu tidak
boleh dipegang hanya oleh seorang saja.
Dari
pemikiran tentang ‘hak-hak politik rakyat’ dan ‘pemisahan kekuasaan’ inilah
terlihat munculnya ide pemerintahan rakyat (democracy).
Tetapi dalam kemunculannya sampai saat ini demokrasi telah melahirkan dua
konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan peranan masyarakat,
yaitu demokrasi konstitusional Abad ke-XIX dan demokrasi konstitusional Abad
ke-XX yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep negara hukum.
Keberadaan
lembaga perwakilan dalam demokrasi modern sangat penting dalam suatu negara
bangsa (Strong, 1960: 171). Bentuk lembaga perwakilan menurut John Stuart Mill
merupakan pilihan bentuk pemerintahan yang ideal. Dikemukakan oleh Mill dalam Utilitarianism Liberty Representative Government
(1988: 233), sistem perwakilan dalam demokrasi modern: “……but since all cannot, in a community exceeding a
single small town, participate personally in any but some very minor portions
of the public business it follows that the ideal type of a perfect government
must be representative”.
Melalui
lembaga perwakilan, persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat akan
dapat diselesaikan. Dengan demikian lembaga perwakilan berfungsi untuk menjembatani
dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Oleh
karena itu secara umum lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi
perundang-undangan, fungsi pengawasan dan fungsi sebagai sarana pendidikan
politik (Saragih, 1988: 88). Fungsi-fungsi ini dilakukan oleh lembaga
perwakilan dalam rangka mewujudkan cita-cita demokrasi modern yang dewasa ini
diikuti oleh sebagian besar negara-negara di dunia.
Penggunaan
fungsi-fungsi tersebut secara teoritis mudah dipahami, tetapi dalam tataran
praktek sulit dilakukan. Kesulitan ini muncul karena lembaga perwakilan lebih
menempatkan sebagai perwakilan politik daripada perwakilan rakyat. Secara
teoritis dalam masyarakat terdapat tiga prinsip perwakilan, yaitu perwakilan
melalui partai politik (political
representative), perwakilan daerah (regional representative) dan perwakilan fungsional atau
utusan golongan (functional
representative), (Ashiddiqie, 2002: 183-184). Di samping itu, di
dalam masyarakat masih terdapat juga adanya ‘representation
in ideas’ yang mungkin belum tertampung oleh representasi yang
telah ada. Oleh karena itu, apa yang diputuskan oleh lembaga perwakilan belum
tentu dapat diterima oleh masyarakat.
Keadaan
demikian akan memunculkan kesenjangan antara wakil yang duduk dalam lembaga
perwakilan dengan rakyat yang diwakilinya. Pada gilirannya akan memunculkan persoalan mendasar di seputar
keberadaan lembaga perwakilan. Pertanyaan mendasar apakah si wakil itu sebatas
mewakili partai politik yang merupakan induk tempat bernaung dalam karier
politiknya, atau si wakil itu mewakili rakyat secara keseluruhan dan melepaskan
ikatan dari induk partai politiknya.
Terdapat beberapa teori sebagai landasan
berpikir guna mencari solusi terbaik dalam membangun hubungan yang ideal antara
wakil dan yang diwakilinya, antara lain teori mandat Jean Jacques Rousseau;
teori organ Von Gierke; teori sosiologi Reiker; teori hukum obyektif Leon
Duguit; teori Gilbert Abcarian dan teori A. Hoogerwerf (lihat Koesnardi dan
Saragih, 1985: 189; Saragih, 1988: 82-86; Busroh, 2001: 144-149).
- Teori mandat, adalah teori yang melihat si wakil duduk di lembaga perwakilan karena mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Teori mandat dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau, muncul di Perancis sebelum revolusi. Teori ini menyesuaikan diri seiring perkembangan zaman, sehingga dalam teori mandat dikenal adanya mandat imperatif, mandat bebas dan mandat representatif.
- Teori mandat imperatif, mengajarkan bahwa si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan sesuai instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya, kemudian baru dapat melaksanakannya. Kalau setiap kali ada masalah baru harus minta mandat baru, hal ini berarti akan menghambat tugas lembaga perwakilan tersebut, maka lahirlah teori mandat baru yang disebut ‘mandat bebas’.
- Teori mandat bebas, dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Black Stone di Inggris. Teori mandat bebas, mengajarkan bahwa si wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut teori ini, si wakil adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat.
- Teori mandat representatif, mengajarkan bahwa si wakil dianggap bergabung dalam suatu lembaga perwakilan (parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan (parlemen), sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemiliknya dan tidak ada pertanggungjawaban. Lembaga perwakilan (parlemen) yang bertanggungjawab kepada rakyat.
- Teori organ Von Gierke, adalah teori yang memandang negara sebagai suatu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan seperti eksekutif, parlemen dan mempunyai rakyat, yang semuanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu dalam konteks hubungan antara wakil dan yang diwakilinya, teori organ mengajarkan bahwa setelah rakyat memilih lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang Dasar. Teori organ ini didukung oleh Paul Laband dan George Jellinek.
- Teori sosiologi Rieker, menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan benar-benar membela kepentingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.
- Teori hukum obyektif Leon Duguit, melihat bahwa dasar hubungan antara rakyat dan parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintahan. Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas merupakan dasar dari hukum obyektif yang timbul. Hukum obyektif inilah yang membentuk lembaga perwakilan menjadi satu bangunan hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan.
- Gilbert Abcarian, mengemukakan adanya empat tipe hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya, yakni si wakil bertindak sebagai ‘trustee’ (wali), si wakil bertindak sebagai ‘delegate’ (utusan), si wakil bertindak sebagai ‘politico’, dan si wakil bertindak sebagai ‘partisan’.
- Si wakil bertindak sebagai trustee, bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakili.
- Si wakil bertindak sebagai delegate atau duta dari yang diwakilinya. Dalam melaksanakan tugasnya, si wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya.
- Si wakil bertindak sebagai ‘politico’, kadang-kadang bertindak sebagai trustee dan adakalanya bertindak sebagai delegate.
- Si wakil bertindak sebagai ‘partisan’, bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilih yang diwakilinya, maka lepas hubungan dengan pemilihnya tersebut dan mulailah hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.
- Hoogerwerf, mengemukakan adanya lima model hubungan antara si wakil dengan yang mewakilinya, yakni model delegate, model trustee, model politicos, model kesatuan, model diversifikasi.
- Model delegate, si wakil bertindak sebagai yang diperintah seorang kuasa yang harus menjalankan perintah dari yang diwakilinya.
- Model trustee, si wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa, yang memperoleh kuasa penuh dari yang diwakilinya, sehingga dapat bertindak berdasarkan pendirian sendiri.
- Model politicos, si wakil kadang-kadang bertindak sebagai delegasi dan kadang-kadang bertindak sebagai kuasa penuh.
- Model kesatuan, anggota parlemen dilihat sebagai wakil seluruh rakyat.
- Model diversifikasi (penggolongan), anggota parlemen dilihat sebagai wakil dari kelompok teritorial, sosial atau politik tertentu.
Dalam praktek, demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara
berbeda-beda, sehingga timbul masalah antara wakil dan yang diwakilinya.
Artinya, apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat dalam lembaga perwakilan
tidak selamanya dapat diterima oleh rakyat. Keadaan ini sering muncul menjadi
permasalahan dalam praktek demokrasi, berkaitan dengan pilihan akan
melaksanakan demokrasi elitis atau demokrasi partisipatoris.
Seperti telah dikemukakan bahwa demokrasi
adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi ini
kemudian dibangun dan dikembangkan secara pesat sebagai suatu rangkaian
institusi dan praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk
merespon perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di
masing-masing negara. Ketika demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam
negara-negara non-Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah
dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam
penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda, (Wignjosoebroto,
2002: 485-493).
Konsep Demokrasi Elitis
Demokrasi elitis, melihat bahwa rakyat sebagai
orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik,
karena rakyat dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang kompleks dalam masalahmasalah pemerintahan. Selain
itu rakyat lebih baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan
tindakan-tindakan yang merusak budaya, masyarakat dan kebebasan (Walker, 1987:
3). Rakyat dianggap sudah cukup berperan dalam kehidupan negara melalui
penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara periodik dalam negara.
Melalui pemilihan umum, rakyat sudah melakukan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara.
Dalam
demokrasi elitis, peran rakyat digantikan oleh sekelompok elit politik dalam
melaksanakan pemerintahan. Setelah dilakukannya pemilihan umum, maka proses
bernegara dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, sepenuhnya diwakili
oleh lembaga perwakilan. Lembaga
perwakilan akan menjalankan tugas dan fungsinya secara bebas tanpa dibayangi
oleh kontrol dan protes dari rakyatnya. Di bawah sebuah pemerintahan perwakilan
ini, warga negara sering menyerahkan kekuasaan yang sangat besar yang dapat
digunakan sesukanya atas keputusan-keputusan yang luar biasa penting. Inilah
sisi gelap dari demokrasi perwakilan, walaupun diakui juga ada
keuntungan-keuntungannya (Dahl, 2001: 157). Demokrasi elitis adalah demokrasi
yang semu, hanya diperankan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat
melalui justifikasi pemilihan umum.
Konsep Demokrasi Partisipatoris
Demokrasi partisipatoris, menuntut peran aktif
berbagai komponen demokrasi secara keseluruhan. Komponen demokrasi adalah
organ-organ kelembagaan, kekuatan-kekuatan masyarakat dan kekuatan-kekuatan
individual yang akan saling menunjang dan melengkapi dalam berjalannya sistem
demokrasi.
Dalam demokrasi partisipatoris, akan
memberikan peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara effektif
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik. Prinsip
dalam demokrasi partisipatoris adalah persamaan bagi seluruh warga negara
dewasa untuk ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan
agenda yang telah diputuskan secara bersama. Hal ini dilakukan agar perjalanan
kehidupan bernegara mendapatkan pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat
dalam rangka terwujudnya pemerintahan yang baik (Dahl, 2001: 157).
Demokrasi partisipatoris pada hakekatnya
adalah demokrasi yang secara sadar akan memberdayakan rakyat dalam rangka
mewujudkan pemerintahan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama
rakyat’. Adanya pemberdayaan rakyat yang akan berupa partisipasi langsung ini
penting, karena sistem perwakilan rakyat melalui lembaga perwakilan tidak
pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena
itulah, prinsip ‘representation in ideas’
dibedakan dari ‘representation in
presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan
keterwakilan gagasan atau aspirasi (Dahl, 2001: 168-169).
Menurut Samuel P Huntington, partisipasi
masyarakat dalam demokrasi partisipatoris dapat terjadi ketika pembangunan
sosial ekonomi berhasil mencapai tingkat pemerataan yang lebih besar, sehingga
melahirkan stabilitas politik dan pada gilirannya memunculkan partisipasi
politik yang demokratis. Partisipasi ini dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu
partisipasi mobilisasi dan partisipasi otonom. Landasan sebagai pijakan dari
partisipasi ini dapat berupa kelas, kelompok, lingkungan, partai dan golongan (faction) (Samuel P. Hutington dan Joah
Nelson, 1994: 9-27). Pada akhirnya, pelibatan rakyat secara aktif dalam proses
penentuan agenda, pengambilan keputusan dan kontrol terhadap kebijakan yang
telah diambil secara bersama, maka rakyat akan memberikan dukungan dengan penuh
antusias dan dapat merasakan bahwa mereka mempunyai tingkat ‘ownership’ yang tinggi dalam bernegara
(Dahl, 2001: 6).
Dari pemahaman konsep demokrasi
partisipatoris tersebut, keberadaan lembaga perwakilan merupakan salah satu
komponen dalam demokrasi. Dinamika demokrasi modern dalam ‘nation state’, selain lembaga perwakilan
yang diisi melalui pemilihan umum, masih terdapat elemen demokrasi lainnya yang
mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di sinilah arti
pentingnya, interest group, presure group,
tokoh masyarakat, pers dan partai politik, ikut ambil bagian dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan. Kekuatan-kekuatan politik ini merupakan kekuatan
infra struktur politik yang perlu diberikan tempat secara proposional dalam
demokrasi partisipatoris. Peran dari elemen-elemen masyarakat ini sangat
diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi partisipatoris. Partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan, termasuk bidang pembentukan
undang-undang, telah menjadi issue penting dalam konteks global (Craig dan
Mayo, 1995: 1).
Konsep Partisipasi
Demokrasi
Munculnya
konsep partisipasi dalam sistem demokrasi sehingga melahirkan ‘participatory democracy’, berkaitan
dengan adanya gerakan ‘New Left’
sebagai pengaruh dari ‘legitimation crisis’
pada tahun 1960-an. Gerakan ‘New Left’
yang memunculkan demokrasi partisipatoris, adalah ‘the main counter-models on the left to the legal democracy’.
Legal democracy bertumpu pada
premis ‘pluralist theory of politics’
yang mengacu kepada teori ‘overloaded
government’, sedangkan demokrasi partisipatoris bertumpu pada
premis ‘Marxist’ yang mengacu
kepada teori ‘legitimation crisis’ (David
Held, 241-264).
Gerakan
dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan
keputusan pemerintahan telah merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang
menganut sistem demokrasi. Oleh karena itu, wacana tentang partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan telah menjadi bagian
tak terpisahkan dalam proses berdemokrasi di Indonesia.
Huntington memberikan
definisi ‘partisipasi politik’, sebagai “kegiatan yang dilakukan oleh para
warga negara dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi dapat secara spontan, secara
kesinambungan atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau
ilegal, efektif atau tidak efektif.”
Dari definisi partisipasi politik tersebut,
terlihat bahwa substansi dari partisipasi adalah kegiatan untuk mempengaruhi
keputusan pemerintah, tanpa melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi
yang dilakukannya. Dalam definisi tersebut terdapat empat hal pokok, yaitu:
(Huntington dan Nelson, 1994: 6-8)
partisipasi, adalah mencakup ‘kegiatan-kegiatan’, tidak memasukkan di dalamnya
yang berupa ‘sikap-sikap’ terhadap orientasi politik;
partisipasi, adalah kegiatan politik warga negara perorangan dalam peranannya
sebagai warga negara biasa; artinya, bukan kegiatan dari orang-orang yang memang
berkecimpung dalam profesi politik atau pemerintahan;
partisipasi, adalah hanya merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah;
partisipasi mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
pemerintah, tanpa mempedulikan apakah kegiatan itu benar-benar mempunyai dampak
untuk itu atau tidak.
Dari
definisi partisipasi politik yang di dalamnya mengandung empat hal pokok
tersebut, diambil pemahaman bahwa gerakan memberdayakan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan, pada dasarnya
berpangkal pada adanya desirability
dari masyarakat untuk mewujudkan self-government
dalam demokrasi partisipatoris (William N. Nelson, 1980: 51). Setidaknya terdapat
lima penyebab pokok, yang memberikan dorongan terhadap keinginan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan, yaitu modernisasi;
perubahan-perubahan struktur kelas sosial; pengaruh kaum intelektual dan
komunikasi massa modern; konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik;
dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan (Almond, 2001: 45-46).
Penyebab
dari keterlibatan masyarakat untuk menyalurkan desirability dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut,
berangkat dari suatu asumsi bahwa yang menjadi dasar demokrasi dan partisipasi
adalah dirinya sendiri yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya
(Peter L. Barger, dalam Surbakti, 1999: 140). Dengan asumsi demikian, rakyat
melakukan partisipasi yang dilakukan dalam berbagai bentuk partisipasi politik
yang dapat berupa konvensional maupun non-konvensional.
Dalam
kaitan partisipasi dalam proses politik, terdapat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi seseorang, yaitu kesadaran politik
dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Kesadaran politik, adalah
kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang dapat berupa
pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, serta minat
dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia
hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah,
ialah penilaian sseorang terhadap pemerintah, apakah ia menilai pemerintah
dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak (Surbakti, 1999: 144).
Berkaitan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi dan rendahnya partisipasi
seseorang dalam melihat suatu persoalan dalam lingkungannya, dikemukakan adanya
empat tipe partisipasi, yaitu: (Jeffry M Paige, dalam Surbakti, 1999: 144)
- apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif;
- apabila seseorang tingkat kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis);
- apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, maka akan melahirkan militan radikal; dan
- apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan partisipasi yang tidak aktif (pasif).
Dari
berbagai hal yang berkaitan dengan partisipasi di atas, terlihat bahwa
problematika partisipasi dalam kehidupan berdemokrasi menjadi suatu masalah
yang dapat diperdebatkan. Tuntutan adanya partisipasi dalam suatu negara
demokrasi pada satu sisi merupakan suatu keniscayaan, namun di sisi yang lain
dipertanyakan apakah partisipasi itu dapat dilakukan dalam kerangka kebebasan
dan persamaan warga negara dalam penyelenggaraan suatu negara. Permasalahan
tersebut kemudian menuntun pada pertanyaan, apakah pemerintahan yang demokratis
itu tergantung pada ada dan tidaknya partisipasi dari masyarakat dalam membuat
keputusan pemerintahan. Jika adanya partisipasi ini menjadi suatu ukuran dalam
proses pengambilan keputusan yang demokratis, maka ukuran apakah untuk
menentukan bahwa suatu partisipasi masyarakat itu merupakan keinginan bersama
dalam masyarakat.
Partisipasi
masyarakat hakekatnya merupakan persoalan nilai-nilai yang bertalian dengan morality suatu masyarakat. Ketika
permasalahan partisipasi terkait dengan permasalahan moral, maka akan sulit
menentukan nilai-nilai moral dari masyarakat yang ukurannya niscaya berbeda-beda.
Dengan demikian, dalam demokrasi bergantung pada penyerapan nilai-nilai moral
yang baik di dalam masyarakat.
Kehidupan Bernegara Yang Demokratis
Pada
dasarnya, demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat dalam mengambil keputusan-keputusan
politik dan menjalankan pemerintahan. Keputusan politik yang dimaksud adalah kesepakatan
yang ditetapkan menjadi sebuah aturan yang akan mengatur kehidupan seluruh
rakyat itu sendiri. Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang sangat
mendasar dalam demokrasi, karena demokrasi tidak hanya berkaitan dengan tujuan
sebuah ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan
dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.
Menurut
Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler dalam The
Irony of Democracy Uncommon Introduction to American Politic, (1996: 7),
gagasan dasar dari demokrasi merefleksikan empat hal, yaitu:
- merupakan partisipasi rakyat di dalam keputusan yang membentuk kehidupan individu-individu dalam suatu masyarakat;
- merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas dengan pengakuan hak-hak minoritas, yaitu hak kebebasan berbicara, berserikat, berkumpul, mendapatkan informasi, membentuk partai oposisi, dan menjalankan jabatan-jabatan publik;
- merupakan komitmen untuk menghargai martabat individu dan menjamin nilai-nilai kehidupan yaitu, kebebasan dan kepemilikan;
- suatu komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
Demokratisasi, muncul sebagai kebutuhan
dan masalah apabila kehidupan bernegara yang dicita-citakan sebagai kehidupan
bernegara yang demokratis ternyata belum terwujud seperti yang diharapkan.
Karena itu, demokratisasi merupakan suatu proses yang hendak mengatasi
batasan-batasan diskriminatif, untuk merealisasi atau menyempurnakan kehidupan
demokrasi. Sehingga warga atau lapisan masyarakat tidak terhalang oleh status
atau hak-hak sosialnya, dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas yang
menyangkut urusan-urusan publik dan pemerintahan.
Dengan
melihat bangsa-bangsa Barat, realisasi membangun warga masyarakat dengan
komunitas politik yang demokratis dan dibangun berdasarkan hukum, yaitu hukum
yang merupakan manifestasi kesepakatan bersama para warga masyarakat sebagai
supra strukturnya, telah berlangsung melalui revolusi-revolusi berdarah.
Revolusi yang diperlukan untuk menumbangkan kekuasaan para “Tuan Baron” berikut
sistemnya yang diskriminatif dan berkelas-kelas, sebelum suatu masyarakat baru
yang didasarkan kedaulatan para warga dapat dibangun. Revolusi kemerdekaan Amerika (1776) dan revolusi
Perancis (1789) merupakan dua contoh dalam sejarah dunia. Kedua revolusi
tersebut merupakan revolusi yang diilhami cita-cita menuju terbentuknya
masyarakat baru dengan warga yang terbebaskan dari segala bentuk perhambaan,
berkedudukan yang setara di antara sesamanya tanpa diskriminasi apapun. Slogan
revolusioner dan ikrar cita-cita rakyat yang dicanangkan pada masa revolusi
itu, ialah ‘liberty, equality and pursuit
of happiness’ di Amerika dan ‘liberte,
egalite et fraternite’ di Perancis. Diikrarkan bahwa sesungguhnya
setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah warga yang
pada asasnya berkebebasan dan berkesetaraan dan berkesamaan derajat dan
martabat. Ikrar ini menjadi bernilai sebagai hukum dasar yang positif tatkala
dielaborasi lebih lanjut sebagai suatu proklamasi atau deklarasi, yakni ‘Declaration of Independence’ di Amerika
dan ‘Declaration des Droit de I’Homme et du
Citoyen’ di Prancis. (lihat Wignjosoebroto, 2002: 485-493)
Memaklumkan secara terbuka persamaan derajat
para warga, tanpa mengenal lagi pemisahan yang diskriminatif antara para “Tuan
Baron” yang pada masa itu dibenarkan untuk dipertuan dan para hamba yang boleh
diperbudak untuk selalu patuh pada perintah, sehingga deklarasi itupun
menyuratkan hak-hak asasi manusia di dalam kedudukan mereka yang baru sebagai
warga negara yang sebangsa. Sejumlah hak yang diyakini dan harus diakui sebagai
hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk manusia, karena tanpa
jaminan hak yang asasi seperti itu keselamatan dan kesejahteraan hidup sesama
manusia akan sulit dipastikan. Hak-hak manusia yang karena bersifat asasi dan
kodrati tidak akan dapat dicabut atau boleh dirampas oleh siapapun yang namanya
sesama manusia. Hanya Tuhan Yang Esa semata yang dapat menghentikan berlakunya
hak-hak itu (Wignjosoebroto, Ibid.).
Jean Jacques Rousseau mengemukakan
prinsip-prinsip yang merupakan dasar kehidupan demokratis dalam negara, yaitu:
rakyat adalah berdaulat, yakni merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam
negara; dalam negara tiap-tiap orang harus dihormati menurut martabatnya
sebagai manusia; dan tiap-tiap warganegara berhak untuk ikut membangun hidup
bersama dalam negara, yakni mempunyai hak-hak publik (Theo Huijbers, 1995:
91-92). Hal lain yang segera terlihat dari paparan demokrasi dalam konsep dan
praktek yang dikemukakan di atas, adalah suatu pemahaman bahwa prinsip
demokrasi yang disebutkan di dalam suatu konstitusi tidak dengan sendirinya
melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis. Materi konstitusi tentang
wewenang dan cara bekerjanya kelembagaan negara, disebut sebagai sistem
pemerintahan negara.
Menurut sejarah pembagian kekuasaan negara, bermula dari gagasan
tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam berbagai organ, agar tidak terpusat
di tangan seorang raja absolut (monarchy).
Gagasan
itu antara lain dikemukakan oleh John Locke dalam Two Treaties of Government, yang mengusulkan agar kekuasaan
di dalam negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut
John Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang
kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
kekuasaan legislatif (membuat undang-undang); kekuasaan eksekutif (melaksanakan
undang-undang); dan kekuasaan federatif yang disebutnya sebagai ‘federative power of the commonwealth’ (melakukan
hubungan diplomatik dengan negara-negara lain). Montesquieu dalam ‘L’esprit des Lois’, mengemukakan
alternatif bahwa untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara (la separation des
pouvoirs)ke dalam organ-organ legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang, eksekutif
kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan yudikatif kekuasaan mengadili jika
terjadi pelanggaran atas undang-undang tersebut.
Dari
dua konsep tersebut, cara pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu
terlihat lebih dapat diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang
ini dilakukan oleh eksekutif melalui departemen luar negeri masing-masing.
Pemisahan kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan, oleh Immanuel Kant kemudian
diberi nama ‘trias politica’
atau tiga pusat/poros kekuasaan negara. Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi
atau gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konsep pemisahan tersebut
dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat dibagi-bagi
dan dipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu secara
bersamaan. Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam keadaan
seimbang, diatur pula mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama
lain yang biasa disebut dengan prinsip checks
and balances.
Dalam
perkembangannya, penerapan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) meluas ke seluruh
dunia dan menjadi paradigma tersendiri dalam pemikiran mengenai susunan
organisasi negara modern. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran
lembaga parlemen atau legislature, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran
pemerintah dan fungsi judikatif dikaitkan dengan lembaga peradilan. Cara kerja dan hubungan ketiga kekuasaan negara itu
dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud
dengan sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara
lembaga-lembaga negara.
Simpulan
Pada akhirnya problematika dalam pemaparan di
atas telah menyangkut persoalan definisi dan ukuran demokrasi. Keberadaan lembaga
perwakilan, baru mewakili masyarakat dari aspek political representative. Sedangkan di dalam masyarakat
masih terdapat functional representative,
regional representative dan idea
representative.
Dalam
partisipasi demokrasi, dikatakan oleh Joan Nelson bahwa “the participation theorist have failed to provide us
with such a theory, and their arguments therefore radically incomplete”.
Partisipasi sebagai suatu intrumen demokrasi yang sangat diharapkan dalam
membangun self-government bagi
suatu negara demokrasi, ternyata tidak dapat bekerja secara utuh sebagai suatu
teori, dan telah gagal dalam membangun argumen-argumennya secara fundamental.
Dengan demikian dari pemaparan di atas
terlihat adanya keterkaitan konsep demokrasi, partisipasi demokrasi dan
kehidupan bernegara yang demokratis.
Pustaka Bacaan
Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulafan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve.
_____, 2002, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI.
Beetham, David, (ed.), 1994, Defining and Measuring Democracy, London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications.
Bentham, Jeremy,
1979, The Theory of Legislation,
India, Bombay: Tripathi Private Limited.
Budiardjo, Miriam, 1983, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Bums, James MacGregor, at. al,
1989, Government by The People,
Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Busroh, Abu Daud, 2001, Ilmu Negara, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Craig, Gary, and Marjorie Mayo, (ed.),
1995, Community Empowerment A Reader in
Participation and Development, London & New Jersy: Zed Books Ltd.
Dahl, Robert A., 1998, On Democracy,
USA; Yale University
Press.
_____, 1992, terjemah A Rahman
Zainuddin, Demokrasi dan Para Pengkritiknya,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
_____, 2001, terjemah A Rahman
Zainuddin, Perihal Demokrasi: Menjelajahi
Teori dan Praktek Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dye, Thomas R., and
Harmon Zeilgler, 1996, The Irony of
Democracy Uncommon Introduction to American Politic, California: Wardsworth
Publishing Company.
Fathurrohman, Deden, dan Wawan
Sobri, 2002, Pengantar llmu Politik,
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Friedrich-Ebert-Sttiftung, 2003, Demos
Kratos, Demokrasi Panduan bagi Pemula, Jakarta: The Ridef Institute.
Garner, Bryan A., (eds.),
1999, Black’s Law Dictionary, Seventh
Edition, St. Paul,
Minn.: West Group.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum
Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:
Kanisius.
Huntington, Samuel P, 1995, terjemah Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
______, dan Joan Nelson, 1994,
terjemah Sahat Simamora, Partisipasi
Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.
Koesnardi, Moh., dan Bintan R
Saragih, 1995, llmu Negara,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mas’oed, Mohtar, (eds.),
2001, Perbandingan Sistem Politik,
Yogyakarta: Gajah
Mada University
Press.
Mayo, Henry B., 1960, An
Introduction to Democratic Theory, New York:
Oxford University Press.
Mill, John Stuart, 1988, Utilitarianism
Liberty Representative Government, London: JM Dent & Sons Ltd.
Naning, Ramdlon, 1983, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
Nelson, William N., 1980, On
Justifying Democracy, London:
Routledge & Kegan Paul Ltd.
Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Strong, C.F., 1966, Modern Political
Constitutions, London:
The English Language Book Society and Sidwgwick & Jackson Limited.
Walker, Geoffrey de Q, 1987, Initiative and Referendum: The People’s Law,
Australia:
The Centre for Independent Studies.
Warren, Harris G., at.al, 1963,
Our Democracy at Work, Englewood Cliffs, USA: Printice Hall, Inc.
Wignjosoebroto, Sutandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Jakarta: Elsam-Huma.
—– ooo0ooo
—–
* Dr. Kusnu Goesniadhie S, S.H.,
M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
Makalah ini dimuat diDiH Jurnal
Ilmu Hukum, Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas 17
Agustus 1945, Surabaya, Vol.1, No.2.
KONSEP DEMOKRASI
DEKRIS
PRATAMA
1301120520
Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional, FISIP, Universitas Riau
Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru
28293
Telp : (0761) 63266, Fax : (0761) 63279, 65593
Email : dekrispratama@live.co.uk
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon