Apakah memaksakan demokrasi
terhadap negara lain dapat dibenarkan?
Sebelum
menjawab rumusan masalah yang terdapat pada judul kecil dari essay ini, maka
sebaiknya harus memahami hal-hal berikut ini :
I.
Apa itu The Democratic Peace Theory?
II. Apakah
demokrasi merupakan sistem yang paling sempurna?
III. Apa
itu peperangan dan perdamaian?
IV. Apakah
tidak ada celah bagi sesama penganut demokrasi untuk berperang?
Secara
normatif maka kita akan sangat mudah untuk menjawab masalah inti, dimana tidak
berhak suatu pihak manapun baik individu, kelompok ataupun negara untuk
memaksakan pemahaman yang dianutnya kepada pihak lain
Dengan
cara normatif, maka masalah inti pun terselesaikan dengan jawaban tidak
dibenarkan pemaksaan sistem demokrasi oleh suatu negara terhadap negara lainnya
dengan alasan apapun, termasuk dengan menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem
terbaik yang dapat menciptakan perdamaian.
Namun,
tentunya di dunia akademisi hal untuk menjawab pertanyaan atau masalah tersebut
tidak semudah itu. Untuk menjawab sebuah permasalahan yang muncul diperlukan
suatu teori yang dapat ‘membunuh’ teori lainnya sehingga dapat muncul
perspektif baru yang dianggap subjektif. Cara ini merupakan cara yang terbaik.
Dengan
cara ini, maka setelah memahami poin-poin diatas, baru bisa menjawab rumusan
masalah inti dengan baik dan benar.
I. The Democratic Peace Theory (Teori Perdamaian
Demokratik)
A.
Pengertian
demokrasi [1]
Sebelum memahami
secara mendalam tentang The Democratic
Peace Theory¸ maka terlebih dahulu harus paham dengan demokrasi itu
sendiri. Demokrasi memiliki banyak penafsiran berbeda antara satu pihak dengan
pihak lainnya. Namun, dalam The
Democratic Peace Theory digunakan demokrasi dalam perspektif liberal.
Berikut pengertiannya :
Demokrasi (liberal) adalah
bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut.
Pilar
demokrasi dikenal dengan prinsip trias politica yang membagi kekuasaan keadalam
tiga bentuk kekuasaan politik negara (ekekutif, legislatif dan yudikatif) yang
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga yang independent
dan berada pada level yang sejajar. Kesejajaran dan independensi ketiga lembaga
ini dibutuhkan agar ketiga lembaga ini bisa saling mengawasi dan mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga
lembaga tersebut merupakan lembaga pemerintah yang berwenang dalam mewujudkan
dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang
memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Dalam sistem ini,
masyarakat atau wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi
masyarakat yang diwakilinya membuat keputusan-keputusan legislatif.
Negara
yang dianggap telah benar-benar menerapkan sistem demokrasi di negaranya jika
telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi seperti dibawah ini :[2]
-
Kekuasaan mayoritas;
-
Hak-hak minoritas;
-
Kedaulatan rakyat;
-
Pemerintahan berdasarkan
persetujuan dari yang diperintah;
-
Jaminan hak asasi manusia;
-
Pemilihan yang bebas dan jujur;
-
Persamaan dalam hukum;
-
Pluralisme sosial, ekonomi dan
politik;
-
Nilai-nilai toleransi,
pragmatisme, kerjasama, dan mufakat;
-
Pembatasan pemerintah secara
konstitusional.
B. Memahami Teori Demokrasi Damai
Teori
Perdamaian Demokratik adalah suatu teori atau pemahaman bahwa jika dibangunnya
sistem demokrasi dalam suatu negara maka negara tersebut akan cenderung untuk
menghindari perang terkecuali untuk melakukan pertahanan diri. Pemahaman ini
dicetuskan oleh Immanuel Kant seorang filsuf Jerman pada sekitar tahun 1795.[3]
Dalam pembahasannya ada dua alasan yang teoritik
yang dapat menjelaskan mengapa negara yang menganut sistem demokrasi tidak ingin
memerangi negara demokrasi lainnya. Dua alasan tersebut dijelaskan oleh Zeev
Maos dan Bruce Russet (1993) tentang “Penjelasan Struktural dan Penjelasan
Normatif”[4]
· Penjelasan
Struktural
Hal
ini dikarenakan dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi maka prosedur
pembuatan kebijakannya memiliki hambatan struktural (checks and balances). Hambatan seperti inilah yang dipercayai
dapat mencegah negara demokrasi memasuki
ranah peperangan. Pada tingkatan umum, penjelasan dari struktural menyatakan
bahwa para elit di negara yang menganut sistem demokrasi dikendalikan oleh
rakyat negaranya, sehingga menyebabkan upaya untuk mobilisasi perang dapat
dihambat.
Dalam struktur negara demokrasi,
legislatif merupakan lembaga struktural yang bisa menghambat eksekutif ketika
ingin memutuskan perang. Dengan adanya hambatan tersebut, negara-negara
demokrasi dapat dicegah untuk memulai perang. Dapat dilihat dalam realita, jika
dua negara demokrasi saling berkonfrontasi satu dengan lainnya secara
internasional, mereka tidak akan terburu-buru untuk memutuskan berperang karena
pemimpin-pemimpinnya memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan perselisihan
dengan cara damai
Satu
jenis penjelasan struktural lainnya menyatakan bahwa proses berdemokrasi
seperti kebebasan berbicara dari rakyat dapat membuat negara demokrasi
terhindar dari hal-hal yang bisa memunculkan kesalahpahaman, karena publik
tidak akan pernah menginginkan negaranya terjerumus dalam perang
Sementara
itu satu jenis penjelasan struktural lainnya menyatakan bahwa proses
berdemokrasi seperti kebebasan berbicara dari publik dapat membuat
negara-negara demokrasi terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman (missperception),
karena publik tidak akan menghendaki negaranya terjerumus dalam perang.
·
Penjelasan Normatif
Penjelasan normatif memiliki dua asumsi yang
penting. Penjelasan yang pertama dari perdamaian demokratik menyatakan bahwa
norma-norma yang dimiliki negara-negara demokrasi diyakini dapat mencegah
perang diantara mereka. Salah satu argumen ini menilai bahw negara yang
menganut sistem liberal tidak akan memerangi negara liberal lainnya, karena hal
itu dapat melukai prinsip-prinsip pokok dalam liberalisme itu sendiri.
Negara-negara
liberal hanya akan memulai perang ketika ia bermaksud memapankan tujuan-tujuan
liberalnya seperti peningkatan kebebasan individual di negara lain. Negara
liberal tidak dapat memapankan tujuan liberalnya apabila memerangi negara
liberal lainnya.
Dengan
kata lain, demokrasi tidak bisa berperang karena ideologi liberal tidak
memberikan justifikasi untuk berperang antara negara demokrasi liberal.
Sementara
itu versi kedu dari penjelasan normatif ini menjelaskan bahwa demokrasi
memiliki suatu norma yang diwujudkan dalam bentuk resolusi damai atas konflik.
Norma-norma tersebut penerapannya pada resolusi damai atas konflik. Seperti
yang kita ketahui dalam menyelesaikan konflik domestik, negara demokrasi
melakukakannya tanpa kekerasan, dan melalui itulah mereka dapat menyelesaikan
perselisihan internasional mereka secara damai.
II. Beberapa Kritik Terhadap Demokrasi
Setelah memahami beberapa mengenai Teori Perdamaian
Demokratik, kita harus menyadari bahwa
sistem atau ideologi tersebut tidaklah sempurna, berikut ini adalah beberapa
kekurangan yang menjadi kritik kaum anti-demokrasi.
·
Thomas Hobbes
(1588-1679), menurutnya rakyat tidak akan dapat dipercaya
untuk dapat membuat keputusan tersendiri sebagaimana yang diterapkan negara
demokrasi karena sifat rakyat yang cenderung mementingkan diri mereka sendiri.
Watak alami manusia adalah jahat dan tidak dapat dipercaya untuk memerintah[5]menurutnya rakyat tidak dapat dipercaya untuk membuat
keputusan tersendiri sebagaimana diterapkan dalam sistem demokrasi karena
rakyat cenderung mementingkan kepentingan mereka sendiri (selfishly motivated).
Watak alami rakyat adalah jahat dan tidak dapat dipercaya untuk memerintah.
·
Plato : [6]
o
Plato mengkritik penerapan
demokrasi pada masa Yunani Kuno, yaitu tentang kekalahan Athena dalam
peperangan Peloponesia pada 404 SM. Menurut Plato, kekalahan yang didapatkan
oleh Athena tersebut akibat ketidakmampuan sistem demokrasi untuk memenuhi
kebutuhan rakyat dibidang politik, moral dan spiritual.
o
Meninggalnya guru Plato, yaitu
Socrates akibat rekayasa hukuman dari pemerintah demokrasi Athena. Kejadian
yang membuat trauma tersebut membuat Plato berkesimpulan bahwa sistem
pemerintahan demokrasi tidak baik karena didalamnya dipenuhi kebobrokan
(dekadensi) moral para penguasa demokrasi Athena saat itu.
·
Noreena Hertz, menurutnya
praktik demokrasi secara penuh sudah dibajak oleh kekuatan korporasi-korporasi
internasional yang kuat dan mampu memengarhui dan menaklukkan negara-negara
dengan kekuatan modalnya. Korporasi ini muncul menjadi kekuataan ekonomi yang
begitu berkuasa dariapda pejabat negara yang terpilih melalui pemilihan umum
yang demokratis sekalipun.
Korporasi yang sepak terjangnya melintasi berbagai penjuru bumi itu seringkali
memanipulasi dan menekan pemerintah dengan cara legal maupun ilegal sekaligus. Para
pemimpin politik pada zaman ini, meski dipilih melalui pemilihan umum,
cenderung melayani kepentingan korporasi multinasional yang sejak empat dekade
ini merupakan aktor ekonomi politik internasional yang sangat penting disamping
negara. Kondisi inilah yang menyebabkan terancamanya demokrasi pada suatu
negara sehingga terjadi the death of democracy.[7]
· Carol Gould, menyatakan
bahwa teori demokrasi (liberal) yang berdiri di atas landasan prinsip
individualisme liberal yang menjunjung kebebasan individu tidak relevan lagi
pada saat ini. Sebab prinsip seperti itu hanya akan menciptakan manusia yang
egois dan asosial, yang menguntamakan kepentingan sendiri. Dengan demikian
prinsip individualisme liberal memberikan pembenaran terhadap ketimpang
kehidupan sosial dan ekonomi dalam struktur sosial masayarakat.[8]
III. Hakekat Sebuah Peperangan dan Perdamaian
Teori Perdamaian Demokratik
mengkalim dirinya sebagai teori yang dapat menciptakan perdamaian abadi jika
semua negara di dunia mengadopsi sistem demokrasi,[9]
Karena itu kita pahami defenisi peperangan sebagai berikut.
Perang berdasarkan pengertian dari Kamus
Oxford adalah “ A state of armed conflict
between different nations, states, or armed group”[10]
Dalam Bahasa Indonesia, “Suatu
keadaan konflik bersenjata antara negara, bangsa, atau kelompok bersenjata yang
berbeda.”
Pemahaman perang dalam konteks ini sesuai dengan
pemahaman Immanuel Kant karena beliau adalah seorang filsuf pada tahun 1795
yang tentunya peperangan pada zaman itu hanya sekedar dipahami dalam konteks
ini. Sangat jauh berbeda dengan sekarang yang memahami pernag dalam konteks
yang lebih luas.
Setelah memahami defenisi perang tersebut dan
memahami alasan suatu pihak terlibat perang, ada beberapa alasan mengapa perang
dapat terjadi :
-
Perbedaan Ideologi;
-
Memperluas Kekuasaan Politik
dan Wilayah
-
Perbedaan Kepentingan
-
Kebutuhan Sumber Daya
Seterusnya kita memahami defenisi dari “damai”
berdasarkan Kamus Oxford, damai adalah “freedom
from disturbance; tranquillity or freedom from or the ending of war” Dalam Bahasa Indonesia, ”bebas dari gangguan;
ketenangan atau kebebasan dari peperangan”.
Dengan kata lain, Teori Perdamaian Demokratik
haruslah bisa menciptakan kedamaian dalam artian tidak adanya suatu peperangan
dalam bentu kontak sejata maupun dalam hal luas seperti Perang Ekonomi.
IV. Peperangan
Sesama Penganut Teori Demokrasi
Selama ini kita mengetahui bahwa negara yang
menjadi induk dari demokrasi (liberal) adalah Amerika Serikat. Karena itulah
kita jadikan negara ini sebagai patokan pengimplementasian dari ide Teori
Perdamaian Demokratik ini.
·
Amerika
Serikat Vs Chili
Sangat sulit untuk mencerna implementasi nyata
atas Teori Perdamaian Demokratik ini. Terlebih ketika pemerintah Amerika
Serikat berniat untuk menggulingkan seorang penguasa yang terpilih secara
demokratik Presiden Salvadro Allende di Chili, dan menempatkan pembunuh yang
kejam (Pinochet) seorang otoriter yang bersahabat dengan AS ditampuk kekuasaan
Chili. Chili, meskipun pemilunya berlangsung dengan sangat demokratis, agaknya
sulit bagi Teori Perdamaian Demokratik untuk menjelaskan megnapa negara-negara
seperti AS tidak mau mengakui Chili sebagai negara demokrasi.
Sejumlah
studi menunjukkan bahwa pada 1970, Chili tercatat sebagai salah satu negara
demokratis yang sangat stabil dan awet di Amerika Latin. Pemilihan pada tahun
1970 membawa Salvador Allende, kandidat yang didukung oleh koalisi sayap kiri Popular Unity, ke tampuk kekuasaan. Kebijakan
ekonominya yang bertujuan untuk mereformasi redistribusi yang melawan
kepentingan pribadi elit, termasuk kepentingan ekonomi Amerika di Chili.
·
AS vs. Hamas
Dalam pemilu legislatif Palestina pada 25
Januari 2006 yang berhasil dimenangkan oleh Hamas sedikit banyaknya telah
mengubah peta dan arus perpolitikan Palestina. Hamas menang telah dengan
perolehan 80 kursi dari 120 kursi parlemen.
Berbeda dengan rekannya Fatah, tipikal Hamas
dilihat terlalu buas untuk diajak berunding apalagi bersahabat, sehingga
ditakutkan akan menjadi batu sandungan bagi kepentingan-kepentingan AS dan
Israel di Timur Tengah.
Arogansi Israel dan AS terlihat dari tindakannya
yang mengembargo pemerintahan Hamas dan Palestina. Israel memulai dengan
pemutusan hubungan komunikasi dengan pemerintah Hamas, penutupan jalur Gaza dan
penetapan final perbatasan wilayah Israel, maka sekutunya ikut serta
mengembargo terhadap Palestina, baik politik, ekonomi, dan kesejahteraan.
AS sangat mendukung Fatah sebagai partai oposisi
untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Konflik berlanjut dimana Hamas
mendapat tekanan dari dunia barat termasuk AS, Eropa, Israel dan saudaranya
sendiri Fatah.
AS dalam hubungan luar negerinya hanya melihat
negara lain sebagai teman saat dibutuhkan dan tidak pernah mendasari
hubungannya pada persamaan dasar ideologi (demokrasi). Uniknya, AS pernah
memasukkan negara-negara sahabat yang non-demokratik tetapi bisa dipercaya seperti
Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Singapura, Indonesia dimasa presiden Soeharto,
Yugoslavia, Portugal, Spanyol, Turki dan banyak negara Amerika latin lainnya
sebelum trend demokrasi dikumandangkan.
Karena itu, meskipun pemerintahan berdasarkan
otokrasi, otoriter dan diktator tetapi itu semua tidak berarti AS dapat dengan
mudah melepaskan mereka sebagai sekutu, itu juga tidak berarti bahwa demokrasi
akan membuat sebuah negara lebih bisa dipercaya oleh AS. Chili dan Hamas dalah
salah satu bukti konkretnya.
KESIMPULAN
Kita mengetahui dan mengkalim tentang Teori
Perdamaian Demokratik berikut penopangnya yang menjelaskan bahwa dengan sistem
demokrasi yang diterapkan suatu negara, maka akan tercipa kedamaian abadi. Apakah atas dasar ini justru Negara demokrasi
dapat memaksakan kehendaknya kepada negara non-demokrasi untuk mengadopsinya
melalui paksaan atau intervensi? Tentu tidak.
Penilaian dengan subjektivitas yang amat
tinggi akan ditemukan dalam anggapan yang menyebutkan demokrasi adalah sistem yang
akan menciptakan perdamaian.
Demokrasi hanyalah salah satu dari sekian
banyak sistem yang dapat menciptakan perdamaian, tetapi bukan satu-satunya
sistem yang dapat menciptakan perdamaian. Apalagi kita dapat melihat bahwa
demokrasi itu sendiri bukanlah suatu sistem yang sempurna tetapi juga memiliki
banyak kekurangan seperti yang telah dijelaskan.
Karena itu, demokrasi tidak bisa menjadi
jaminan akan terjadinya perdamaian karena banyak hal lain yang harus menjadi
alasan untuk berperang disamping alasan ideologi, maka dari itu untuk apa harus
mengadopsi sistem yang secara tidak langsung tidak memberikan jaminan secara
penuh untuk menciptakan perdamaian. Dalam penerapannya pun jauh dari teori,
seperti yang dipraktekkan oleh Amerika Serikat yang mengkalim dirinya sebagai
‘ibu’ dari negara demokrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulkarim,
Aim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara yang Demokratis, Jakarta:
PT
Grafindo Media Pratama.
Anti-democracy,”
Bioethics and Deliberative Democracy: Five Warnings from
Hobbes”, http://www.anti-democracy.com/2010/02/article-bioethics-and-deliberative.html, diakses
pada 2 Juni 2014
Journals Cambridge,” Globalizing Democracy and Human Rights
Carol Gould”,
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=5453148,
diakses
pada 4 Juni 2014
Mtholyoke, “Immanuel Kant
Perpetual
Peace: A Philosophical Sketch”,
Newsvine, “Plato's Criticisms of Democracy”,
http://newsvine.com/_news/2008/02/16/1305759-platos-criticisms-of-democracy,
diakses
pada 4 Juni 2014
Portalhi, “Kritik Terhadap Teori Perdamaian
Demokrasi”,
http://portalhi.web.id/?p=124, diakses pada 4
Juni 2014
Racialicious, “Herts Critical Democracy”,
http://www.racialicious.com/2009/11/04/capitalism-isnt-a-love-story-noreena-hertz-the-new-world-order/,
diakses
pada 4 Juni 2014
[2] Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara
yang Demokratis, (Jakarta: PT Grafindo
Media Pratama, 2006)
[3] Mtholyoke, “Immanuel Kant Perpetual Peace: A
Philosophical Sketch”, http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/kant/kant1.htm
[5] Anti-democracy,” Bioethics and Deliberative Democracy: Five Warnings from Hobbes”, http://www.anti-democracy.com/2010/02/article-bioethics-and-deliberative.html
[6] Newsvine, “Plato's Criticisms of Democracy”,
http://newsvine.com/_news/2008/02/16/1305759-platos-criticisms-of-democracy
[7] Racialicious, “Herts
critical Democracy”, http://www.racialicious.com/2009/11/04/capitalism-isnt-a-love-story-noreena-hertz-the-new-world-order/
[8]Journals Cambridge,” Globalizing Democracy and Human Rights Carol Gould”, http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=5453148
Written by: Dekris Pratama
Written at: University of Riau
Written for: Mrs. Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
Date written: June 2014
Written at: University of Riau
Written for: Mrs. Yusnarida Eka Nizmi, M.Si
Date written: June 2014
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon